DILEMA PERENCANAAN KEPEGAWAIAN DI DAERAH

DILEMA PERENCANAAN KEPEGAWAIAN DI DAERAH

Perubahan signifikan terjadi ketika UU no 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara disahkan pada 15 Januari 2014 lalu, selain rekrutmen lebih diperketat dan selektif soal tata kepegawaian, diperkenalkan pula Pegawai Tidak Tetap Pemerintah (PPTP) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Berbeda dengan Pegawai Honorer, sebagaimana disebutkan dalam PP 48/2005, PP 43/2007 dan yang terakhir PP 56/2012, Honorer dapat diangkat menjadi Calon PNS, namun dengan persyaratan administrasi tertentu melalui seleksi dan tes. Selain itu Honorer juga ditentukan berdasarkan masa pengabdian yang diatur minimal sudah melaksanakan kewajiban 1 tahun per 31 Desember 2005 dan masih bekerja secara terus menerus hingga proses pengangkatan menjadi PNS. Beberapa hal lain yang membedakan adalah bahwa Honorer dibagi menjadi 2, yaitu Honorer Kategori I (K1) yakni Tenaga Honorer yang penghasilannya dibiayai oleh negara (APBN/APBD) dan Honorer Kategori II (K2) yang pembiayaannya tidak ditanggung oleh APBN/APBD. Bagaimanapun perbedaan antara Honorer dengan PPPK, pengangkatan Honorer baik K1 maupun K2 masih meninggalkan masalah. karena masih terdapat sekian banyak orang yang terganjal dan tidak dapat diangkat menjadi calon PNS. Bahwa honorer diluar 2 kategori tersebut (K1 dan K2) tidak dianggap lagi sebagai tenaga honorer dan sudah tertutup nasibnya untuk diangkat menjadi CPNS. Hal ini sudah dinyatakan dalam PP 48/2005 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 814.1/169/SJ Tahun 2013 tentang Penegasan Larangan Pengangkatan Tenaga Honorer. Kondisi ini jika disandingkan dengan rubrik tata kepegawaian kita ada beberapa kondisi yang juga butuh perhatian serius :
  
pertamarekrutmen pegawai honor daerah sesuai kebutuhan. Jika pemda membutuhkan tenaga tambahan untuk membantu volume pekerjaan pemda (yang aparaturnya minus kualitas sumber daya dan kuantitasnya), semestinya dilakukan analisis kebutuhan dengan mengidentifikasi indikator-indikator kebutuhan. Ambil misal arah daerah adalah untuk meningkatkan status opini pemerintah melalui Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maka semestinya yang dibutuhkan adalah lulusan akuntansi atau manajemen keuangan yang kemudian didistribusikan ke setiap SKPD, atau misalnya suatu daerah akan mengelola sumber daya alam berupa hasil tambang, maka yang dibutuhkan adalah sarjana-sarjana teknik pertambangan, sipil dan lingkungan yang berkompoten untuk membentu aparatur daerah yang sudah ada, bukannya secara random merekrut pegawai berdasarkan indikator-indikator yang tidak sesuai dengan kebutuhan daerah.  

Kedua, memutuskan rantai Honor Daerah. Akhir 2013 silam semestinya sudah tidak ada lagi pengangkatan tenaga honorer yang masih digunakan jasanya dalam penyelenggaraan pemerintahan didaerah namun sampai saat ini kondisi itu tidak benar-benar diterapkan dengan baik sebagaimana diarahkan oleh pemerintah. Bahkan sampai saat ini masih terdapat sekian banyak pegawai honor daerah yang masa baktinya 5 sampai 10 tahun belum jelas nasibnya, kemuadian ditambah lagi sekian banyak pegawai yang direkrut tanpa prosedur yang jelas. Semestinya dengan diterbitkannya regulasi tentang aparatur sipil negara maka daerah sudah tentu tidak akan kerepotan dalam perekrutan PPPK maupun PPTP, namun kondisi ini akan bertolak belakang dengan amanat regulasi, pemda pastinya akan tetap terkontaminasi dengan ratusan pegawai honor daerah yang masih berstatus honor daerah atau pegawai kontrak tadi dan disinilah letak subjektifitasnya. 

Ketiga, Kemampuan Keuangan Daerah,  Pikirkan saja dengan separuh dari dana transfer pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU) diperuntukan bagi PNS kemudian ditambahkan lagi dengan pegawai honor daerah, maka sangat “menggemukkan” postur belanja pegawai baik dari sisi belanja langsung maupun tidak langsung, sedangkan selisihnya diperuntukan kepada masyarakat setelah dikurangi dengan belanja perkantoran/aparatur. Artinya ada pemanfaatan sekian anggaran digunakan hanya untuk belanja apatur secara langsung maupun tidak langsung tampa memperhatikan kondisi daerah yang masih berada pada klasifikasi daerah rendah atau miskin. Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara telah memberikan ruang kepada kepada pegawai honor daerah dengan mendapatkan hak dan kewajiban yang setimpal dengan kontribusi yang diberikan kepada negara/daerah. Regulasi tersebut menegaskan tentang kompensasi finansial yang akan didapat secara terukur sesuai dengan kinerja. Terukur inilah semestinya pemerintah daerah harus menyesuaikan dengan pasal 101 undang-undang tersebut. Mengapa? karena kompensasi yang diberikan bukan berdasarkan keputusan kepala daerah untuk disamaratakan besaran honor/upah berdasarkan jenjang pendidikan lagi namun didalam aturan ASN diamanatkan bahwa kompensasi yang diberikan tidak sebatas asas “pemerataan” namun lebih pada pendekatan “kelayakan” dengan indikator beban kerja, tanggung jawab jabatan dan resiko pekerjaan selain itu dapat pula menerima tunjangan. Dikuatirkan semakin tinggi jumlah Pegawai Tidak Tetap Pemerintah (PPTP) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dengan penilaian kebutuhan yang tidak terukur akan sangat berdampak pada pembebanan keuangan daerah dimana pemda akan membayar lebih dari upah sebelumnya yang disamaratakan itu. Paradigma yang terjadi hampir diseantero daerah otonom baru berkembang termasuk di Maluku ini perlu disikapi secara serius oleh pemerintah daerah setempat, karena akan memberikan pekerjaan rumah yang panjang dan tidak dapat diatasi secara sekejab. Besarnya belanja wajib pegawai dan belanja non PNS setelah ditambah dengan belanja kompensasi atas pelaksanaan program kegiatan maka akan sangat tidak rasional dengan keberpihakan anggaran yang diperuntukan langsung kepada masyarakat.

Keempat, uji kelayakan pegawai honor/kontrak daerah, dengan pertimbangan mutu bukan pertimbangan "lainnya", kualitas melahirkan kebutuhan yang tepat-bukan kebutuhan melahirkan kualitas, artinya rekrutmen tepat pada kualitas personal bukan karna kebutuhan direkrut dulu...belajar kerja baru berkualitas, kualitas harus didapan sebelum masuk kerja, bayangkan saja apa jadinya kalau pegawai honor dibidang administrasi tidak tahu mengoperasikan komputer ambil misal program standar microsoft word, office excel, power point.....mau jadi apa daerah nantinya, terus...pegawai organik harus menghabiskan waktu lagi untuk mendampingi dan mengajarkan .....!!! tapi kalo toh tidak berhasil yah...jadinya pegawai tersebut menyandang "pekerja nganggur" yang penting gaji lancar......!!! hhhhuuuuummm...!!!
maka sudah tepat, beberapa pemda menempuh cara merumahkan beberapa pegawai honor/kontrak karena alasan terlalu "gemuk", makan terlalu banyak tanpa berolah raga....penggemukan hanya pada SKPD tertentu mengakibatkan kinerja tidak tersebar secara baik. Dengan kondisi diatas, organisasi berkompeten perlu menyusun SOP rekrutmen pegawai honor/kontrak sehingga kualitas tetap dijaga agar kedepan tidak melahirkan masalah baru lagi.  Pemerintah daerah semestinya secara sinergis merevieuw masa tugas pegawai kontrak/honor kemudian dipadukan dengan kuota penerimaan CPNSD, artinya mereka yang memiliki kompetensi dan pengalaman kerja mumpuni akan sangat efektiv jika diangkat sebagai PNS/ASN jika dibandingkan dengan kalangan umum sebagai pencari kerja dan belum memiliki pengalaman kerja apapun.

Kelima: Transparansi, banyak daerah telah mengambil langkah ekstrim demi mengatasi masalah tata kelola pegawai kontrak. Namun yang membedakan antara rasional dan tidaknya hanya berada pada satu tindakan yaitu transparan; transparan dalam menerapkan fungsi-fungsi manajemen dalam rekrutmem pehawai. "Merumahkan" pegawai kontrak/honor memang merupakan tindakan yang menurut beberapa tidak bijaksana, namun tindakan ini tepat untuk mengatasi membludaknya pegawai kontrak yang direkrut secara inprosedural. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, banyak pegawai kontrak/honor yang tahun masa tugasnya lebih dari 10 tahun bertugas, dan klasifikasi tahun masa tugas lain dibawahnya, mesti secara trasparan di petakan. Kemudian formasi dan kuota, sistem seleksi dan lain sebagainya hingga pada pengumuman lulusan secara transparan mesti menjadi bagian penting dalam tata kelola kepegawaian kita.


Kesenjangan diatas masih merupakan pekerjaan rumah bagi daerah (provinsi/kabupaten), upaya menyusun regulasi dan menentukan langkah konkrit dari pemerintah daerah khususnya SKPD berkompeten perlu secara cepat dan tepat. apalagi pengalaman test penerimaan CPNSD kemarin dengan berbagai indikator lamaran yang telah terformat baku dari pusat secara sentralis memberikan dampak signifikan bagi serapan lamaran yang tidak menguntungkan pegawai honor seantero daerah yang telah mengabdikan diri selama ini karena terhalang usia dan jenjang pendidikan.
kita berharap semoga kedepan kebijakan pemerintah pusat lebih menerobos jauh permasalahan didaerah, kebijakan pemerintah pusat wajib melihat kebutuhan daerah, bukan hanya dengan menarik sampel pada kondisi daerah di pulau jawa saja.....daerah Maluku masih jauh dari harapan, dan masih perlu perhatian serius. Mudah-mudahan pemerintah pusat membuka kembali kebijakan rekrutmen K3 atau Kategori ke tiga.....ya kita berharaplah...!!! agar sisa pekerjaan rumah yang carut marut ini, merekrut tidak objektif ini dapat ditanggulangi.....!!! artinya dengan memungkinkan tidak adanya rekrutmen CPNSD reguler dan diprioritaskan dulu mereka yang secara faktual dilapangan benar-benar diprioritaskan menjadi PNSD yang pada K1 dan K2 tidak tidak diakomodir.
mudah-mudahan saja kebijakan kedepan pun dapat menguntungkan dan berpihak pada para Pegawai Honor Daerah yang saat ini terkatung-katung nasibnya. sekian....!!! :) 

Komentar

Postingan Populer