EVALUASI APBDESA, SISTEM PERENCANAAN KEUANGAN YANG EFEKTIF DAN SISTEMATIS


EVALUASI APBDESA, SISTEM PERENCANAAN KEUANGAN
YANG EFEKTIF DAN SISTEMATIS


PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Pembangunan nasional merupakan bagian dari kehendak rakyat untuk melakukan serangkaian upaya terpadu guna mewujudkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Konsep pembangunan nasional yang dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat bermula dari konsep keterpaduan pembangunan lintas sektor dan lintas daerah yang diselenggarakan secara sadar oleh pemerintahan daerah bersama segenap rakyat di daerah (local development). Fokusnya adalah untuk meningkatkan seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang sekaligus merupakan proses pengembangan keseluruhan sistem penyelenggaraan negara untuk mewujudkan Tujuan Nasional. Dalam pengertian lain, pembangunan nasional dapat diartikan sebagai rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan dan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan Tujuan Nasional.
Pelaksanaan pembangunan mencakup aspek kehidupan bangsa, yaitu aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan secara berencana, menyeluruh, terarah, terpadu, bertahap dan berkelanjutan untuk memacu peningkatan kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang lebih maju. Oleh karena itu, sesungguhnya pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara benar, adil, dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggara negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila. Karena hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Hal ini berarti dalam pelaksanaan pembangunan nasional adalah sebagai berikut :
1)   Ada keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan kebulatan yang utuh dalam seluruh kegiatan pembangunan. Pembangunan adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya manusia untuk pembangunan. Dalam pembangunan dewasa ini dan jangka panjang, unsur manusia, unsur sosial budaya, dan unsur lainnya harus mendapat perhatian yang seimbang.
2)    Pembangunan adalah  merata untuk seluruh masyarakat dan di seluruh wilayah tanah air.
3)    Subyek dan obyek Pembangunan adalah manusia dan masyarakat Indonesia, sehingga pembangunan harus berkepribadian Indonesia dan menghasilkan manusia dan masyarakat maju yang tetap berkepribadian Indonesia pula.
4)    Pembangunan dilaksanakan bersama oleh masyarakat dan Pemerintah. Masyarakat adalah pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing, serta menciptakan suasana yang menunjang. Kegiatan masyarakat dan kegiatan Pemerintah saling mendukung, saling mengisi, dan saling melengkapi dalam satu kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan nasional.
Perencanaan pembangunan daerah esensinya adalah perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumber daya yang tersedia didaerah dan untuk memperbaiki kapasitas sektor publik dalam menciptakan nilai sumber daya daerah (kuncoro,2012:3), agar dapat menghindari adanya kegagalan mekanisme pasar, ketidakpastian masa yang akan datang, dan sebagai kompas untuk memberikan arah pembangunan yang jelas. Melalui perencanaan pembangunan ekonomi daerah, suatu daerah dilihat secara keseluruhan merupakan suatu unit ekonomi (economy entity) yang didalamnya terdapat berbagai unsur yang berinteraksi satu dengan yang lainnya, sehingga perlu adanya beberapa gerakan konkrit baik secara vertikal maupun horisontal harus berperan aktif secara optimal, yakni intervensi pemerintah dengan adanya perencanaan pembangunan yang menjawab kebutuhan sampai pada daerah-daerah terisolir sakalipun dan partisipasi masyarakat dalam mengisi pembangunan daerah.
Otonomisasi merupakan proses dimana bangsa ini berkomitmen untuk menyelanggarakan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi, dimana pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan pembangunan daerah berdasarkan prioritas pembangunan dengan tetap berpatokan pada kemampuan keuangan daerah tersebut. Otonomisasi sudah berjalan selama satu dekade lebih, namun esensi dari otonomi itu masih merupakan proses yang belum menghasilkan masyarakat yang sejahtera. Kondisi otonomisasi lebih diperparah dengan ketidakmampuan daerah dalam mengurusi rumah tangganya sendiri. Dimana Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan jawaban atas kemandirian daerah (derajat desentralisasi daerah) belum sama sekali memberikan kontribusi signifikan bagi daerah. Pemerintah daerah masih selalu bergantung pada dana transfer pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) maupun Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak (DBHP-BP) yang merupakan perimbangan anggaran untuk penyelenggaraan pemerintah daerah yang otonomis.
Pelaksanaan proses perubahan struktur perlu diselenggarakan secara bertahap, terencana, dan sistematis agar dapat memadukan pembangunan antardaerah, antarsektor, dan antargolongan penduduk. Keterpaduan demikian merupakan syarat proses perubahan struktur agar kondisi kesenjangan antardaerah, antarsektor, dan antargolongan penduduk (di Indonesia) dapat ditanggulangi. Agar pembangunan secara bertahap, terencana, dan sistematis dapat dilaksanakan sesuai dengan landasan pemberdayaan masyarakat, maka peranserta aktif masyarakat lokal sangat diharapkan. Peranserta aktif masyarakat lokal dalam pembangunan mengandung arti adanya demokrasi ekonomi dalam pembangunan yang ditandai oleh adanya otonomi bagi masyarakat lokal di daerah (otonomi daerah). Pelaksanaan otonomi daerah menggariskan adanya pendelegasian wewenang (desentralisasi) kepada daerah dalam administrasi pembangunan di daerah, yaitu makin meningkatkan dan memantapkan kewenangan yang lebih besar kepada daerah mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan, dan pelaporan. Pendelegasian wewenang kepada daerah pada dasarnya bukan hanya diselenggarakan oleh lembaga publik pemerintah (misalnya pemerintah daerah) namun juga oleh lembaga publik milik masyarakat yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat (misalnya lembaga swadaya masyarakat lokal). Dalam hal ini Pemerintah Pusat hanya berperan sebagai fasilitator. Tetapi jika dalam beberapa hal tertentu belum dapat diselenggarakan oleh daerah, maka pemerintah pusat dapat memberikan berbantuan kepada daerah (medebewind), misalnya jika suatu kegiatan pembangunan itu merupakan pembangunan lintasdaerah, lintaskawasan, atau lintassektor. Dalam pelaksanaan otonomi daerah pada dasarnya Pemerintah Pusat memberikan wewenang luas kepada daerah, terutama kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi di wilayah administratif mereka sendiri. Daerah (masyarakat lokal dan pemerintah daerah) menyelenggarakan kegiatan sosial ekonomi seluas mungkin. Sementara pemerintah pusat memberikan fasilitas dan melaksanakan kebijaksanaan fiskal, mulai dari menarik pajak hingga mendistribusikan kembali dalam bentuk bantuan pembangunan pada sasaran pembangunan yang paling membutuhkan.
Pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional tersebar di seluruh daerah pada dasarnya merupakan wewenang daerah untuk mengelolanya secara optimal. Namun berdasarkan pertimbangan kepentingan nasional dimana beberapa daerah secara nyata adalah daerah yang memiliki sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia dan teknologi yang terbatas maka pemerintah pusat dapat berwenang dalam melakukan kebijaksanaan pemerataan pembangunan yang dilakukan secara berkeadilan. Kebijaksanaan pemerataan merupakan suatu kepentingan nasional yang mempunyai tujuan sesuai dengan lima sila Pancasila, terutama mewujudkan landasan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam melaksanakan kebijaksanaan pemerataan pembangunan yang berkeadilan ini pemerintah pusat mendasarkan pada aspirasi, kebutuhan, dan potensi masyarakat lokal yang diserasikan dengan kepentingan nasional itu. Untuk itu perimbangan keuangan pusat dan daerah diselenggarakan dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Perwujudan perimbangan keuangan pusat dan daerah dilaksanakan melalui suatu prinsip yang didasarkan pada asas demokrasi, yaitu: kebebasan (liberty), kebersamaan (egality), dan persaudaraan (fraternity). Prinsip demokrasi yang dijalankan di Indonesia adalah prinsip demokrasi berdasarkan Pancasila, yaitu memuat nilai-nilai moral ketuhanan, kemanusiaan, nasionalisme, demokratis, dan keadilan sosial. Penerapan prinsip demokrasi dalam pembangunan diwujudkan dalam prinsip pembangunan yang partisipatif.
Sejumlah isu pokok yang muncul pada pelaksanaan otonomi daerah dilandasi adanya tantangan: pertama, otonomi daerah merupakan wahana mewujudkan strategi pemerataan (pemerataan antardaerah, pemerataan antarsektor, dan pemerataan antarmanusia di daerah) dan mobilitas penduduk dalam melakukan kegiatan sosial ekonomi sampai pada desa terpencil; kedua, otonomi daerah merupakan perwujudan strategi pembangunan dari bawah dengan sumberdaya manusia sebagai sentral pembangunan guna memberi kemungkinan untuk mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada secara optimal sesuai dengan kondisi wilayah dan masyarakat pada waktu tertentu (spatial approach); ketiga, otonomi daerah merupakan perwujudan strategi pembangunan partisipatif guna memberikan kesempatan masyarakat di suatu daerah untuk berpartisipasi dan bertanggung-jawab bersama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan; keempat, otonomi daerah memberikan kesempatan kepada masing-masing daerah untuk mengembangkan potensi dan kreasi daerah dengan cara-cara yang sesuai serta memanfaatkan keragaman budaya sebagai aset pembangunan nasional; kelima, otonomi daerah merupakan wahana bagi penyelenggaraan administrasi pembangunan untuk pengurusan urusan rumah tangga daerah oleh daerahnya sendiri dengan cara-cara yang sesuai dengan daerah yang beragam itu berdasarkan kondisi topografis kepulauan, keanekaragaman penduduk dan kondisi sosial bidaya yang semua itu sulit untuk dapat dikendalikan dengan cara yang sama dan segaram dari Pusat;
Pemerintahan didaerah merupakan ujung tombak terwujudnya masyarakat yang sejahtera. Secara kolektif jika daerah setempat sejahtera akan berdampak pada persentase naik kesejahteraan negara. Dengan demikian daerah dirangsang untuk lebih mengoptimalkan penyelenggaraan otonomi secara baik dan berkesinambungan, hingga ke desa-desa yang terpencil.
Pengelolaan otonomisasi perlu dijabarkan dan dijawab pada Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah selama satu tahun anggaran yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi pembangunan hingga pada taraf desa sekalipun.
APBDesa merupakan penjabaran kebutuhan daerah dalam membangun desa sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Pemanfaatan Alokasi Dana Desa (ADD) sebagaimana termuat dalam APBD perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah desa dan dibantu oleh potensi dan swadaya desa setempat. Hal ini tidak lain adalah bagaimana pemerintah daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah desa untuk lebih kreatif dalam menjawab kebutuhan masyarakatnya.
Kegiatan evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) merupakan wujud dari komitmen seluruh jajaran pemerintah Daerah dalam mewujudkan pemerintahan yang transparan, responsif dan akuntabel pada berbagai aspek dalam tugas pemerintahan umum, pelayanan masyarakat dan pembangunan sampai ke pelosok desa sebagaimana diamanatkan dalam paket undang-undang tentang pemerintahan daerah dan keuangan yaitu Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Paket perundang-undangan ini kemudian ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 sebagaimana telah diubah beberapi kali terakhir dengan Permendagri nomor 21 tahun 2011 tentang perubahan kedua atas Permendagri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa, yang mana dijelaskan bahwa evaluasi rancangan peraturan desa tentang APBDesa perlu dilaksanakan oleh pemerintah daerah agar tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
Didalam paket perundangan sebagaimana yang telah disebutkan diatas, terdapat penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan; dan kekuasaan negara dari presiden sebagian diserahkan kepada gubernur / bupati / walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa gubernur/bupati/walikota bertanggungjawab atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah.
Ruang lingkup pengelolaan keuangan desa itu sendiri mencakup keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan desa, sehingga dengan munculnya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, telah memberikan kewenangan kepada masyarakat desa untuk mengatur dirinya sendiri sesuai dengan keinginan, kebutuhan, kebiasaan dan adat – istiadat setempat. 
Hal ini wajib dilakukan oleh pemerintah desa untuk menata penyelenggaraan tugas – tugas pemerintahan. Upaya menyelenggarakan tugas – tugas pemerintahan dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan pembangunan desa. Sejalan dengan otonomi desa, pemerintah desa dituntut untuk mandiri dalam mengurus rumah tangganya melalui pencarian sumber – sumber pendapatan guna membiayai seluruh penyelenggaran tugas – tugas pemerintahan desa. Dengan pembiayaan yang cukup dari pemerintah desa, dapat memberikan pelayanan kepada masyarakatnya.
Keuangan desa memiliki peranan penting dalam membiayai pelaksanaan tugas pemerintahan desa, baik untuk belanja operasional pemerintahan desa maupun dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa dan pembangunan desa. Masalah utama keuangan desa disebabkan oleh kurangnya kemampuan desa dalam menggali sumber – sumber keuangan desa dan bagaimana pemanfaatan penerimaan desa secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Demi menindaklanjuti amanat peraturan perundang-undangan pemerintah daerah secara berurutan dalam dua tahun terakhir ini kegiatan APBDesa telah dilaksanakan disetiap kecamatan, dimulai dengan kegiatan pendidikan dan pelatihan penyusunan APBDesa pada tahun 2010 dan tahun 2011 dimana pemerintah daerah lewat asistensi yang kontinyu dapat mempersiapkan aparatur desa menyusun APBDesa secara mandiri sesuai karakteristik desanya. Materi yang disampaikan oleh tim berkisar tentang kebijakan dan mekanisme pengelolaan keuangan desa, penatausahaan, pertanggungjawaban dan evaluasi keuangan desa sesuai APBDesa, tata cara penyusunan peraturan desa tentang APBDesa, tata cara penyusunan keputusan kepala desa tentang penjabaran APBDesa, sumber - sumber pendapatan desa & teknis - teknis pungutan dan pelatihan penyusunan anggaran di desa.
Selain itu peraturan desa tentang APBDesa, adalah wujud gotong-royong & swadaya masyarakat desa, karena peraturan desa tentang APBDesa ini merupakan hasil dari kerja dan kesepakatan  bersama seluruh masyarakat desa, yang diwakili oleh badan perwakilan desa dan aparat pemerintah desa.
Dengan demikian kegiatan evaluasi Rancangan APBDesa merupakan ujung tonggak pembangunan daerah yang perlu dilaksanakan oleh pemerintah desa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari konteks pembangunan daerah yang esensial.

MASALAH TEKNIS YANG SERING DIHADAPI
Dalam pelaksanaan evaluasi APBDesa terdapat berbagai kekurangan dalam penyusunan APBDesa yang secara garis besar dapat disampaikan sebagai berikut :
1. Sampai dengan saat ini semua desa belum mampu secara mandiri menyusun Peraturan Desa tentang APBDesa, padahal sesuai dengan undang-undang seharusnya setiap desa di Indonesia harus memiliki peraturan desa tentang APBDesa, dimana peraturan desa ini memuat perencanaan pendapatan, belanja dan pembiayaan desa sehingga diharapkan desa mampu mengelola keuangannya secara baik, transparan dan akuntabel. Salah satu indikator belum maksimalnya penyusunan APBDesa disebabkan adannya Penggantian Kepala Desa dan aparatur desa yang baru. Namun mengingat APBDesa merupakan hal wajib yang harus disusun oleh perangkat desa tiap tahunnya, maka Pemerintah daerah wajib membantu menyusun rancangan APBDesa, karena peraturan desa tentang APBDesa memuat perencanaan dan penganggaran keuangan di desa, dimana semua program / kegiatan pendapatan, belanja dan pembiayaan desa dalam tahun berkenan tertuang didalamnya;
2. Pengusulan Rancangan APBDesa oleh setiap desa belum dikuatkan dengan peraturan desa, antara lain : Alokasi Pendapatan Desa belum memiliki Peraturan Desa tentang Pungutan-pungutan pendapatan antara lain : Pendapatan Asli desa, Hasil Pengelolaan Kekayaan Desa, Hasil Swadaya dan Partisipasi, hasil gotong royong dan lain sebagainya;
3.  Terjadi kesalahan penganggaran ada pos pendapatan, belanja maupun pembiayaan serta kesalahan pengkodean rekening dan lain sebagainya;
4. Pemerintah desa belum dapat menjelaskan secara baik dan benar maksud dari perencanaan kegiatan dan anggaran sehingga mempersulit Tim Evaluasi untuk menyampaikan solusi konkrit sesuai kondisi yang terjadi;
5. Ketidakmandirian desa dalam menyusun rancangan APBDesa dan keseragaman dokumen menjelaskan bahwa pemerintah desa belum menganggap bahwa APBDesa adalah dokumen yang sangat penting merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kinerja pemerintah desa secara eksternal maupun internal sehingga tercapainya pemerintahan desa yang pembangun desa, bersih dan terhindar dari kesalahan kewenangan.

METHODE YANG DIGUNAKAN
Adapun methode evaluasi yang perlu digunakan adalah :
1.         Penyampaian Daftar Inventarisir Masalah (DIM)
Daftar Inventarisir Masalah merupakan hasil koreksi oleh tim evaluasi APBDesa atas kesalahan-kesalahan yang ditemui pada Rancangan APBDesa. Catatan-catatan tersebut kemudian disampaikan kepada Perangkat Desa pada saat evaluasi Rancangan APBDesa berlangsung.
2.         Penyampaian solusi tindak lanjut
Penyampaian tindak lanjut dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) merupakan salah satu cara yang dipakai sebagai bahan informasi dan solusi perbaikan rancangan APBDesa.
3.         Asistensi/Pendampingan
Asistensi merupakan metode yang dipakai oleh tim evaluasi untuk mendampingi setiap desa pada kecamatan tertentu setelah selesai evaluasi. Asistensi ini dilakukan agar catatan dan solusi yang disampaikan pada saat evaluasi dapat dipraktikan langsung oleh aparatur desa. Tim evaluasi wajib mendampingi dan memperbaiki kembali rancangan APBDesa yang tidak sesuai dengan amanat peraturan perundangan yang berlaku.

 PENUTUP
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menyebutkan Desa sebagai sebuah pemerintahan yang otonom yaitu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.. Untuk melaksanakan fungsinya, Desa diberikan dana oleh Pemerintah melalui pemerintahan atasan Desa. Oleh karena itu, Desa dibekali dengan pedoman dan petunjuk teknis perencanaan dan pengelolaan keuangan desa. Menurut IRE Yogyakarta, good governance dalam pengelolaan keuangan desa meliputi:
-       Penyusunan APBDesa dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
-       Informasi tentang keuangan desa secara transparan dapat diperoleh oleh masyarakat.
-       APBDesa disesuaikan dengan kebutuhan desa.
-       Pemerintah Desa bertanggungjawab penuh atas pengelolaan keuangan.
-       Masyarakat baik secara langsung maupun lewat lembaga perwakilan melakukan pengawasan atas pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh pemerintah desa.
Dengan demikian Evaluasi APBDesa merupakan kegiatan wajib yang secara periodik perlu dilakukan sesuai amanat peraturan perundang-undangan, dimana Peraturan Pemerintah nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa pasal 61 telah menegaskan bahwa APBDesa yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan sebagai peraturan desa paling lama 3 (tiga) hari wajib disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota untuk dievaluasi. Penegasan tersebut pula diamanatkan pada permendagri nomor 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa pasal 6 dan pasal 7 yang menegaskan pula tentang Evaluasi Rancangan APBDesa.
Kiranya kegiatan Evaluasi Rancangan APBDesa dapat menjadi patokan arah dan kebijakan pemerintah desa dalam menjawab kebutuhan menyelenggarakan tugas – tugas pemerintahan dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan pembangunan desa. TRIMS




Komentar

Postingan Populer