EVALUASI APBDESA, SISTEM PERENCANAAN KEUANGAN YANG EFEKTIF DAN SISTEMATIS
EVALUASI APBDESA, SISTEM PERENCANAAN KEUANGAN
YANG EFEKTIF DAN SISTEMATIS
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pembangunan nasional
merupakan bagian dari kehendak rakyat untuk melakukan serangkaian upaya terpadu
guna mewujudkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Konsep pembangunan nasional
yang dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat bermula
dari konsep keterpaduan pembangunan lintas sektor dan lintas daerah yang
diselenggarakan secara sadar oleh pemerintahan daerah bersama segenap rakyat di
daerah (local development). Fokusnya
adalah untuk meningkatkan seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
yang sekaligus merupakan proses pengembangan keseluruhan sistem penyelenggaraan
negara untuk mewujudkan Tujuan Nasional. Dalam pengertian lain, pembangunan
nasional dapat diartikan sebagai rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan
dan meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk
melaksanakan tugas mewujudkan Tujuan Nasional.
Pelaksanaan pembangunan mencakup aspek kehidupan bangsa, yaitu aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan secara berencana,
menyeluruh, terarah, terpadu, bertahap dan berkelanjutan untuk memacu
peningkatan kemampuan nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejajar
dan sederajat dengan bangsa lain yang lebih maju. Oleh karena itu, sesungguhnya
pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus menerus
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara
benar, adil, dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan
penyelenggara negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila. Karena hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Hal ini berarti
dalam pelaksanaan pembangunan nasional adalah sebagai berikut :
1) Ada keselarasan,
keserasian, keseimbangan, dan kebulatan yang utuh dalam seluruh kegiatan
pembangunan. Pembangunan adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya manusia
untuk pembangunan. Dalam pembangunan dewasa ini dan jangka panjang, unsur
manusia, unsur sosial budaya, dan unsur lainnya harus mendapat perhatian yang
seimbang.
2) Pembangunan
adalah merata untuk seluruh masyarakat dan di seluruh wilayah tanah air.
3) Subyek dan
obyek Pembangunan adalah manusia dan masyarakat Indonesia, sehingga pembangunan
harus berkepribadian Indonesia dan menghasilkan manusia dan masyarakat maju
yang tetap berkepribadian Indonesia pula.
4) Pembangunan
dilaksanakan bersama oleh masyarakat dan Pemerintah. Masyarakat adalah pelaku
utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing,
serta menciptakan suasana yang menunjang. Kegiatan masyarakat dan kegiatan
Pemerintah saling mendukung, saling mengisi, dan saling melengkapi dalam satu
kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan nasional.
Perencanaan pembangunan daerah esensinya adalah
perencanaan untuk memperbaiki penggunaan sumber daya yang tersedia didaerah dan
untuk memperbaiki kapasitas sektor publik dalam menciptakan nilai sumber daya
daerah (kuncoro,2012:3), agar dapat menghindari adanya kegagalan mekanisme
pasar, ketidakpastian masa yang akan datang, dan sebagai kompas untuk
memberikan arah pembangunan yang jelas. Melalui perencanaan pembangunan ekonomi
daerah, suatu daerah dilihat secara keseluruhan merupakan suatu unit ekonomi (economy entity) yang didalamnya terdapat
berbagai unsur yang berinteraksi satu dengan yang lainnya, sehingga perlu
adanya beberapa gerakan konkrit baik secara vertikal maupun horisontal harus
berperan aktif secara optimal, yakni intervensi pemerintah dengan adanya
perencanaan pembangunan yang menjawab kebutuhan sampai pada daerah-daerah
terisolir sakalipun dan partisipasi masyarakat dalam mengisi pembangunan daerah.
Otonomisasi merupakan proses dimana bangsa ini
berkomitmen untuk menyelanggarakan pemerintahan berdasarkan asas
desentralisasi, dimana pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada daerah
untuk menyelenggarakan pembangunan daerah berdasarkan prioritas pembangunan
dengan tetap berpatokan pada kemampuan keuangan daerah tersebut. Otonomisasi sudah
berjalan selama satu dekade lebih, namun esensi dari otonomi itu masih
merupakan proses yang belum menghasilkan masyarakat yang sejahtera. Kondisi
otonomisasi lebih diperparah dengan ketidakmampuan daerah dalam mengurusi rumah
tangganya sendiri. Dimana Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan jawaban
atas kemandirian daerah (derajat desentralisasi daerah) belum sama sekali
memberikan kontribusi signifikan bagi daerah. Pemerintah daerah masih selalu
bergantung pada dana transfer pusat berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK) maupun Dana Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak (DBHP-BP) yang
merupakan perimbangan anggaran untuk penyelenggaraan pemerintah daerah yang
otonomis.
Pelaksanaan proses perubahan struktur perlu
diselenggarakan secara bertahap, terencana, dan sistematis agar dapat memadukan
pembangunan antardaerah, antarsektor, dan antargolongan penduduk. Keterpaduan
demikian merupakan syarat proses perubahan struktur agar kondisi kesenjangan
antardaerah, antarsektor, dan antargolongan penduduk (di Indonesia) dapat
ditanggulangi. Agar pembangunan secara bertahap, terencana, dan sistematis
dapat dilaksanakan sesuai dengan landasan pemberdayaan masyarakat, maka
peranserta aktif masyarakat lokal sangat diharapkan. Peranserta aktif
masyarakat lokal dalam pembangunan mengandung arti adanya demokrasi ekonomi
dalam pembangunan yang ditandai oleh adanya otonomi bagi masyarakat lokal di
daerah (otonomi daerah). Pelaksanaan otonomi daerah menggariskan adanya
pendelegasian wewenang (desentralisasi) kepada daerah dalam administrasi
pembangunan di daerah, yaitu makin meningkatkan dan memantapkan kewenangan yang
lebih besar kepada daerah mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian, pengawasan, dan pelaporan. Pendelegasian wewenang kepada daerah
pada dasarnya bukan hanya diselenggarakan oleh lembaga publik pemerintah
(misalnya pemerintah daerah) namun juga oleh lembaga publik milik masyarakat
yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat (misalnya lembaga swadaya
masyarakat lokal). Dalam hal ini Pemerintah Pusat hanya berperan sebagai
fasilitator. Tetapi jika dalam beberapa hal tertentu belum dapat diselenggarakan
oleh daerah, maka pemerintah pusat dapat memberikan berbantuan kepada daerah
(medebewind), misalnya jika suatu kegiatan pembangunan itu merupakan
pembangunan lintasdaerah, lintaskawasan, atau lintassektor. Dalam pelaksanaan
otonomi daerah pada dasarnya Pemerintah Pusat memberikan wewenang luas kepada
daerah, terutama kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan kegiatan
ekonomi di wilayah administratif mereka sendiri. Daerah (masyarakat lokal dan
pemerintah daerah) menyelenggarakan kegiatan sosial ekonomi seluas mungkin.
Sementara pemerintah pusat memberikan fasilitas dan melaksanakan kebijaksanaan
fiskal, mulai dari menarik pajak hingga mendistribusikan kembali dalam bentuk
bantuan pembangunan pada sasaran pembangunan yang paling membutuhkan.
Pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya
nasional tersebar di seluruh daerah pada dasarnya merupakan wewenang daerah
untuk mengelolanya secara optimal. Namun berdasarkan pertimbangan kepentingan
nasional dimana beberapa daerah secara nyata adalah daerah yang memiliki
sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia dan teknologi yang terbatas maka
pemerintah pusat dapat berwenang dalam melakukan kebijaksanaan pemerataan
pembangunan yang dilakukan secara berkeadilan. Kebijaksanaan pemerataan
merupakan suatu kepentingan nasional yang mempunyai tujuan sesuai dengan lima
sila Pancasila, terutama mewujudkan landasan kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Dalam melaksanakan kebijaksanaan pemerataan pembangunan yang
berkeadilan ini pemerintah pusat mendasarkan pada aspirasi, kebutuhan, dan
potensi masyarakat lokal yang diserasikan dengan kepentingan nasional itu.
Untuk itu perimbangan keuangan pusat dan daerah diselenggarakan dalam kerangka
negara kesatuan Republik Indonesia.
Perwujudan perimbangan keuangan pusat dan daerah
dilaksanakan melalui suatu prinsip yang didasarkan pada asas demokrasi, yaitu:
kebebasan (liberty), kebersamaan (egality), dan persaudaraan (fraternity). Prinsip demokrasi yang
dijalankan di Indonesia adalah prinsip demokrasi berdasarkan Pancasila, yaitu
memuat nilai-nilai moral ketuhanan, kemanusiaan, nasionalisme, demokratis, dan
keadilan sosial. Penerapan prinsip demokrasi dalam pembangunan diwujudkan dalam
prinsip pembangunan yang partisipatif.
Sejumlah isu pokok yang muncul pada pelaksanaan
otonomi daerah dilandasi adanya tantangan: pertama, otonomi daerah merupakan
wahana mewujudkan strategi pemerataan (pemerataan antardaerah, pemerataan
antarsektor, dan pemerataan antarmanusia di daerah) dan mobilitas penduduk
dalam melakukan kegiatan sosial ekonomi sampai pada desa terpencil; kedua, otonomi
daerah merupakan perwujudan strategi pembangunan dari bawah dengan sumberdaya
manusia sebagai sentral pembangunan guna memberi kemungkinan untuk mampu
memanfaatkan sumberdaya yang ada secara optimal sesuai dengan kondisi wilayah
dan masyarakat pada waktu tertentu (spatial
approach); ketiga, otonomi daerah
merupakan perwujudan strategi pembangunan partisipatif guna memberikan
kesempatan masyarakat di suatu daerah untuk berpartisipasi dan
bertanggung-jawab bersama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan;
keempat, otonomi daerah memberikan kesempatan kepada masing-masing daerah untuk
mengembangkan potensi dan kreasi daerah dengan cara-cara yang sesuai serta
memanfaatkan keragaman budaya sebagai aset pembangunan nasional; kelima,
otonomi daerah merupakan wahana bagi penyelenggaraan administrasi pembangunan
untuk pengurusan urusan rumah tangga daerah oleh daerahnya sendiri dengan
cara-cara yang sesuai dengan daerah yang beragam itu berdasarkan kondisi
topografis kepulauan, keanekaragaman penduduk dan kondisi sosial bidaya yang
semua itu sulit untuk dapat dikendalikan dengan cara yang sama dan segaram dari
Pusat;
Pemerintahan didaerah merupakan ujung tombak
terwujudnya masyarakat yang sejahtera. Secara kolektif jika daerah setempat
sejahtera akan berdampak pada persentase naik kesejahteraan negara. Dengan
demikian daerah dirangsang untuk lebih mengoptimalkan penyelenggaraan otonomi
secara baik dan berkesinambungan, hingga ke desa-desa yang terpencil.
Pengelolaan otonomisasi perlu dijabarkan dan dijawab
pada Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), APBD adalah rencana keuangan
tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) yang merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah selama satu tahun
anggaran yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi pembangunan hingga
pada taraf desa sekalipun.
APBDesa merupakan penjabaran kebutuhan daerah dalam
membangun desa sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 37 Tahun 2007 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Pemanfaatan Alokasi Dana Desa (ADD)
sebagaimana termuat dalam APBD perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah desa dan
dibantu oleh potensi dan swadaya desa setempat. Hal ini tidak lain adalah
bagaimana pemerintah daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah desa untuk
lebih kreatif dalam menjawab kebutuhan masyarakatnya.
Kegiatan evaluasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa)
merupakan wujud dari komitmen seluruh jajaran pemerintah Daerah dalam
mewujudkan pemerintahan yang transparan, responsif dan akuntabel pada berbagai
aspek dalam tugas pemerintahan umum, pelayanan masyarakat dan pembangunan
sampai ke pelosok desa sebagaimana diamanatkan dalam paket undang-undang
tentang pemerintahan daerah dan keuangan yaitu Undang-undang nomor 17 tahun
2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan Undang-undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Paket perundang-undangan ini
kemudian ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah nomor 58
tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Pemerintah nomor 72
tahun 2005 tentang Desa, Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006
sebagaimana telah diubah beberapi kali terakhir dengan Permendagri nomor 21
tahun 2011 tentang perubahan kedua atas Permendagri nomor 13 tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 37
tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa, yang mana dijelaskan
bahwa evaluasi rancangan
peraturan desa tentang APBDesa perlu dilaksanakan oleh pemerintah daerah agar
tidak bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
Didalam paket perundangan sebagaimana yang telah
disebutkan diatas, terdapat penegasan di bidang pengelolaan keuangan, yaitu
bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari
kekuasaan pemerintahan; dan kekuasaan negara dari presiden sebagian diserahkan
kepada gubernur / bupati / walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk
mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan
kekayaan daerah yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada
pengaturan pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa gubernur/bupati/walikota
bertanggungjawab atas pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah
melekat dan menjadi satu dengan pengaturan pemerintahan daerah.
Ruang lingkup pengelolaan keuangan desa itu sendiri
mencakup keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan desa,
sehingga dengan munculnya Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah nomor 72
tahun 2005 tentang Desa, telah memberikan kewenangan kepada masyarakat desa
untuk mengatur dirinya sendiri sesuai dengan keinginan, kebutuhan, kebiasaan
dan adat – istiadat setempat.
Hal ini wajib dilakukan oleh pemerintah desa untuk
menata penyelenggaraan tugas – tugas pemerintahan. Upaya menyelenggarakan tugas
– tugas pemerintahan dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat,
pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan pembangunan desa. Sejalan dengan
otonomi desa, pemerintah desa dituntut untuk mandiri dalam mengurus rumah
tangganya melalui pencarian sumber – sumber pendapatan guna membiayai seluruh
penyelenggaran tugas – tugas pemerintahan desa. Dengan pembiayaan yang cukup
dari pemerintah desa, dapat memberikan pelayanan kepada masyarakatnya.
Keuangan desa memiliki peranan penting dalam
membiayai pelaksanaan tugas pemerintahan desa, baik untuk belanja operasional
pemerintahan desa maupun dalam rangka pemberdayaan masyarakat desa dan
pembangunan desa. Masalah utama keuangan desa disebabkan oleh kurangnya
kemampuan desa dalam menggali sumber – sumber keuangan desa dan bagaimana
pemanfaatan penerimaan desa secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Demi
menindaklanjuti amanat peraturan perundang-undangan pemerintah daerah secara
berurutan dalam dua tahun terakhir ini kegiatan APBDesa telah dilaksanakan
disetiap kecamatan, dimulai dengan kegiatan pendidikan dan pelatihan penyusunan
APBDesa pada tahun 2010 dan tahun 2011 dimana pemerintah daerah lewat asistensi
yang kontinyu dapat mempersiapkan aparatur desa menyusun APBDesa secara mandiri
sesuai karakteristik desanya. Materi yang disampaikan oleh tim berkisar tentang
kebijakan dan mekanisme pengelolaan keuangan desa, penatausahaan,
pertanggungjawaban dan evaluasi keuangan desa sesuai APBDesa, tata cara penyusunan
peraturan desa tentang APBDesa, tata cara penyusunan keputusan kepala desa
tentang penjabaran APBDesa, sumber - sumber pendapatan desa & teknis -
teknis pungutan dan pelatihan penyusunan anggaran di desa.
Selain itu peraturan desa tentang APBDesa, adalah
wujud gotong-royong & swadaya masyarakat desa, karena peraturan desa
tentang APBDesa ini merupakan hasil dari kerja dan kesepakatan bersama seluruh masyarakat desa, yang
diwakili oleh badan perwakilan desa dan aparat pemerintah desa.
Dengan demikian kegiatan evaluasi Rancangan APBDesa
merupakan ujung tonggak pembangunan daerah yang perlu dilaksanakan oleh
pemerintah desa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari konteks pembangunan
daerah yang esensial.
MASALAH TEKNIS YANG SERING DIHADAPI
Dalam
pelaksanaan evaluasi APBDesa terdapat berbagai kekurangan dalam penyusunan
APBDesa yang secara garis besar dapat disampaikan sebagai berikut :
1. Sampai dengan saat ini semua desa belum
mampu secara mandiri menyusun Peraturan Desa tentang APBDesa,
padahal sesuai dengan undang-undang seharusnya setiap desa di Indonesia harus
memiliki peraturan desa tentang APBDesa, dimana peraturan desa ini memuat
perencanaan pendapatan, belanja dan pembiayaan desa sehingga diharapkan desa
mampu mengelola keuangannya secara baik, transparan dan akuntabel. Salah
satu indikator belum maksimalnya penyusunan APBDesa disebabkan adannya
Penggantian Kepala Desa dan aparatur desa yang baru. Namun mengingat APBDesa merupakan hal wajib yang harus disusun oleh perangkat desa tiap
tahunnya, maka Pemerintah daerah wajib membantu menyusun rancangan
APBDesa, karena peraturan desa tentang APBDesa memuat perencanaan
dan penganggaran keuangan di desa, dimana semua program / kegiatan pendapatan,
belanja dan pembiayaan desa dalam tahun berkenan tertuang didalamnya;
2. Pengusulan Rancangan APBDesa oleh setiap desa belum
dikuatkan dengan peraturan desa, antara lain : Alokasi Pendapatan Desa belum
memiliki Peraturan Desa tentang Pungutan-pungutan pendapatan antara lain :
Pendapatan Asli desa, Hasil Pengelolaan Kekayaan Desa, Hasil Swadaya dan
Partisipasi, hasil gotong royong dan lain sebagainya;
3. Terjadi
kesalahan penganggaran ada pos pendapatan, belanja maupun pembiayaan serta
kesalahan pengkodean rekening dan lain sebagainya;
4. Pemerintah desa belum dapat menjelaskan secara baik
dan benar maksud dari perencanaan kegiatan dan anggaran sehingga mempersulit
Tim Evaluasi untuk menyampaikan solusi konkrit sesuai kondisi yang terjadi;
5. Ketidakmandirian desa dalam menyusun rancangan APBDesa
dan keseragaman dokumen menjelaskan bahwa pemerintah desa belum menganggap
bahwa APBDesa adalah dokumen yang sangat penting merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi kinerja pemerintah desa secara eksternal maupun internal sehingga
tercapainya pemerintahan desa yang pembangun desa, bersih dan terhindar dari
kesalahan kewenangan.
METHODE YANG DIGUNAKAN
METHODE YANG DIGUNAKAN
Adapun methode evaluasi yang perlu
digunakan adalah :
1.
Penyampaian Daftar Inventarisir Masalah (DIM)
Daftar Inventarisir
Masalah merupakan hasil koreksi oleh tim evaluasi APBDesa atas
kesalahan-kesalahan yang ditemui pada Rancangan APBDesa. Catatan-catatan
tersebut kemudian disampaikan kepada Perangkat Desa pada saat evaluasi
Rancangan APBDesa berlangsung.
2.
Penyampaian solusi tindak lanjut
Penyampaian tindak lanjut
dari Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) merupakan salah satu cara yang dipakai sebagai
bahan informasi dan solusi perbaikan rancangan APBDesa.
3.
Asistensi/Pendampingan
Asistensi merupakan metode
yang dipakai oleh tim evaluasi untuk mendampingi setiap desa pada kecamatan
tertentu setelah selesai evaluasi. Asistensi ini dilakukan agar catatan dan
solusi yang disampaikan pada saat evaluasi dapat dipraktikan langsung oleh aparatur
desa. Tim evaluasi wajib mendampingi dan memperbaiki kembali rancangan APBDesa
yang tidak sesuai dengan amanat peraturan perundangan yang berlaku.
PENUTUP
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah menyebutkan Desa sebagai sebuah pemerintahan yang otonom yaitu kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.. Untuk melaksanakan fungsinya, Desa diberikan dana
oleh Pemerintah melalui pemerintahan atasan Desa. Oleh karena itu, Desa
dibekali dengan pedoman dan petunjuk teknis perencanaan dan pengelolaan
keuangan desa. Menurut IRE
Yogyakarta, good governance dalam pengelolaan keuangan desa
meliputi:
- Penyusunan APBDesa dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
- Informasi tentang keuangan
desa secara transparan dapat diperoleh oleh masyarakat.
- APBDesa disesuaikan dengan kebutuhan desa.
- Pemerintah Desa
bertanggungjawab penuh atas pengelolaan keuangan.
- Masyarakat baik secara
langsung maupun lewat lembaga perwakilan melakukan pengawasan atas pengelolaan
keuangan yang dilakukan oleh pemerintah desa.
Dengan demikian Evaluasi APBDesa merupakan kegiatan
wajib yang secara periodik perlu dilakukan sesuai amanat peraturan
perundang-undangan, dimana Peraturan Pemerintah nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa pasal 61 telah menegaskan bahwa APBDesa yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan sebagai peraturan desa paling lama 3 (tiga) hari wajib disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota untuk dievaluasi. Penegasan tersebut pula diamanatkan pada
permendagri nomor 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa pasal
6 dan pasal 7 yang menegaskan pula tentang Evaluasi Rancangan APBDesa.
Kiranya kegiatan Evaluasi
Rancangan APBDesa dapat menjadi patokan arah dan kebijakan pemerintah desa
dalam menjawab kebutuhan menyelenggarakan tugas – tugas pemerintahan dalam
rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan
pengelolaan pembangunan desa. TRIMS
Komentar
Posting Komentar