ANALISIS KETIMPANGAN DAERAH



ANALISIS KETIMPANGAN DAERAH DENGAN MENGGUNAKAN METODE INDEKS WILLIAMSON
(STUDI : KOTA AMBON PROVINSI MALUKU)

Letarius Erwin Layan*

ABSTRAK
                           
Tujuan dari artikel ini adalah mengetahui berapa besar tingkat ketimpangan pendapatan di kota Ambon. Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data time series yang merupakan data sekunder yang berasal dari publikasi Badan Pasat Statistik periode 2016. Analisa yang diggunakan adalah teknik analisis kualitatif deskriptif dan kuantitatif dengan menganalisisis permasalahan berdasarkan teori dan alat analisis Indeks Williamson. Hasil analisis menunjukkan bahwa perhitungan Indeks Wiliamson secara rata-rata sebesar 0,73%. Kondisi ini menunjukkan tingkat ketimpangan daerah berada pada posisi yang kuat atau memiliki ketimpangan yang kecil, dalam enam tahun terakhir kota Ambon mampu memberikan kontribusi Indeks Wiliamson setiap tahunnya >50% artinya pertumbuhan PDRB kota ambon semakin meningkat dan tidak diikuti dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi.

Kata Kunci:  Ketimpangan Daerah, Pertumbuhan Penduduk, PDRB, Indeks Williamson. 


1.        PENDAHULUAN
1.1.        Latar Belakang

Kesenjangan ekonomi merupakan kesenjangan pendapatan, kesenjangan kekayaan, dan jurang antara kaya dan miskin, mengacu pada persebaran ukuran ekonomi di antara individu dalam kelompok, kelompok dalam populasi, atau antarnegara. Para ekonom umumnya mengakui tiga ukuran kesenjangan ekonomi: kekayaan, pendapatan dan konsumsi. Persoalan kesenjangan ekonomi mencakup kesetaraan ekonomi, kesetaraan pengeluaran, dan kesetaraan kesempatan. Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga diperlukan pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan distribusi pendapatan yang lebih merata. Namun realita yang terjadi secara nasional masih terdapat kendala dalam mewujudkan tujuan tersebut. Ketimpangan pembangunan antar daerah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam, teknologi dan perbedaan kondisi geografi yang terdapat pada masing – masing daerah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana pada setiap daerah biasanya terdapat daerah maju (Development Region) dan daeah terbelakang (Underdevelopment Region). Terjadinya ketimpangan antar daerah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar daerah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar daerah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. 

Di negara-negara miskin, perhatian utama lebih terfokus pada dilema kompleks antara pertumbuhan dan distribusi pendapatan, namun keduanya hampir sangat sulit diwujudkan dalam waktu yang bersamaan, pengutamaan yang satu akan menuntun pengorbanan yang lain. Pembangunan ekonomi yang lebih tinggi mensyaratkan penerimaan GNP yang tinggi pula. Namun yang menjadi masalah bukan hanya tingkat GNP yang tinggi, tapi bagimana hasil dari pembangunan ekonomi itu dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat (Todaro, 2000:177). Realitas ini merupakan akibat kebijakan pembangunan ekonomi yang kurang tepat dan bersifat struktural. artinya, kebijakan masa lalu yang begitu menyokong sektor industri dengan mengorbankan sektor lainnya patut untuk direvisi karena telah mendorong munculnya ketimpangan sektoral yang berujung kepada kesenjangan pendapatan. Timbul kesenjangan antara pendapatan dan belanja menyebabkan adanya defisit anggaran yang berkepanjangan. Mark up budget yang irasional merupakan dapak dari tidak konsistensinya decision maker terhadap kebijakan anggaran yang telah disepakati bersama. Kondisi tersebut sudah tentu memperlambat kesejahteraan masyarakat, mulai dari perencanaan yang tidak sistematis, tidak berkesinambungan dan masih jauh dari skala prioritas tidak mungkin akan memutuskan mata rantai kemiskinan. Kondisi ini nampak pada pernyataan Samuelson dan Nordhaus (2005:282) tentang lingkaran setan kemiskinan dimana kemiskinan akan selalu menjadi penyakit kronis dalam suatu negara. Pembangunan yang berhasil akan membutuhkan langkah-langkah untuk memutuskan rantai tersebut. Tentunya dalam mengatasi kondisi diatas sangat dibutuhkan terobosan handal dan berani. “Optimalisasi pendapatan merupakan kunci dari pertumbuhan ekonomi suatu bangsa” karena dengan pendapatan yang tinggi akan sangat berpotensi untuk mengoptimalkan surplus anggaran demi kepentingan menabung dan investasi.

          Kondisi ini akan mempermudah pemerintah untuk menentukan kebijakan prioritas berskala besar dengan terobosan besar dan berani sehingga produktivis output yang dihasilkan dapat meningkatkan pendapatan dan menjawab kebutuhan secara berkesinambungan. Namun kondisi yang terjadi selama ini adalah masih sulitnya memutuskan mata rantai kemiskinan tersebut. Dipertegas pula oleh Kuncoro (2015:209) bahwa permasalahan kemiskinan yang cukup kompleks membutuhkan intervensi semua pihak secara bersama-sama dan terkoordinasi. Namun penanganannya selama ini cenderung parsial dan tidak berkelanjutan. 
      
       Proses pengentasan kemiskinan melalui interfensi APBN/D masih menyisihkan kelemahan-kelemahan signifikan secara terstruktur dari pusat hingga ke daerah melalui performance-based budgeting yaitu untuk melakukan kontrol keuangan dari sekian indikator masalah keuangan daerah (Sumarsono 2010:159), dengan limpah sumber daya alam di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan hasil laut yang melimpah sebagai komuditas unggulan dan pengembangan wisata bahari merupakan potensi dan peluang besar untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah setempat. Demikian pula laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan tidak didukung oleh pendapatan yang  tinggi akan sangat  berpengaruh terhadap tingkat kesenjangan daerah.

Gambar 1
Grafik Pertumbuhan Penduduk Provinsi Maluku
Tahun 2009-2014


Sumber: Badan Pusat Statistik.
 
Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa jumlah Provinsi Maluku semakin bertambah setiap tahunnya. Pertambahan penduduk ini menimbulkan banyaknya kemiskinan karena pertambahan penduduk tidak diikuti dengan semakin banyaknya lapangan usaha. Jumlah penduduk Provinsi Maluku tahun 2009 sampai dengan 2014, mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan dan penurunan tersebut hanya berkisar 1% saja namun memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan penduduk provinsi Maluku. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat ketimpangan kota Ambon, dibutuhkan juga data-data PDRB menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan. Berikut adalah tabel PDRB Maluku menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan:


Gambar 2
Grafik PDRB Provinsi Maluku dan Kota Ambon
 menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga konstan
Tahun 2009-2014 (Juta Rupiah)

 
 Sumber: Badan Pusat Statistik.


        Tabel di atas mencantumkan total PDRB Maluku menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan sebagaimana data sekunder Badan Pusat Statistik. Secara persentase pertumbuhan PDRB provinsi Maluku dari tahun ketahun mengalami pertumbuhan yang signifikan. Demikian halnya kota ambon secara statistik mengalami pertumbuhan yang relatif naik meskipun pada tahun 2014 mengalami pertumbuhan yang menurun jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Artinya kontribusi lapangan usaha kota Ambon masih perlu ditingkatkan setiap tahunnya. Kontribusi terbesar hanya dicapai pada lapangan usaha perdagangan, hotel dan restoran kemudian disusul jasa usaha lainnya

Pertumbuhan ekonomi yang berbeda antar daerah merupakan hal yang wajar dalam konsep pembangunan nasional. Seoeroso dan Biarratani dalam Sulistina (2005:2) mengungkapkan perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi antar daerah telah menarik modal dan tenaga kerja ke daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan dalam pola pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia. Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah. Pembangunan di daerah yang tinggi kegiatan ekonominya tinggi, cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pembangunan di daerah yang tinggi kegiatan ekonominya rendah.
Berdasarkan uraian di atas, artikel ini akan membahas dan menganalisis mengenai pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan daerah pada kota ambon dengan pendekatan Indeks Williamson.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka masalah yang akan dibahas dalam artikel ini adalah ketimpangan daerah perlu diukur agar dapat diketahui tingkat kemandirian daerah sehingga dapat mencari solusi yang tepat sebagai gagasan dalam mewujudkan daerah mandiri.

1.3 Tujuan Penelitian
Artikel ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Perencanaan Pembangunan Daerah serta mengetahui dan menganalisis tingkat ketimpangan dan kontribusi daerah.

1.4 Manfaat Penelitian
Sebagai masukan bagi pihak yang berkepentingan dalam memecahkan masalah mengenai pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan regional.


1.        TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1  Pertumbuhan Ekonomi
Teori-teori pertumbuhan ekonomi yang berkembang antara lain: (Sadono Sukirno,2006:243-270) Teori Pertumbuhan Klasik, teori ini dipelopori oleh Adam Smith, David Ricardo, Malthus, dan John Stuart Mill. Menurut teori ini pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu jumlah penduduk, jumlah barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta teknologi yang digunakan. Mereka lebih menaruh perhatiannya pada pengaruh pertambahan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi. Mereka asumsikan luas tanah dan kekayaan alam serta teknologi tidak mengalami perubahan. Teori yang menjelaskan keterkaitan antara pendapatan perkapita dengan jumlah penduduk disebut dengan teori penduduk optimal. Menurut teori ini, pada mulanya pertambahan penduduk akan menyebabkan kenaikan pendapatan perkapita. Namun jika jumlah penduduk terus bertambah maka hukum hasil lebih yang semakin berkurang akan mempengaruhi fungsi produksi yaitu produksi marginal akan mengalami penurunan, dan akan membawa pada keadaan pendapatan perkapita sama dengan produksi marginal. Pada keadaan ini pendapatan perkapita mencapai nilai yang maksimal. Jumlah penduduk pada waktu itu dinamakan penduduk optimal. Apabila jumlah penduduk terus meningkat melebihi titik optimal maka pertumbuhan penduduk akan menyebabkan penurunan nilai pertumbuhan ekonomi.
        Teori pertumbuhan neo-klasik dikembangkan oleh Robert M. Solow (1970) dan T.W. Swan (1956). Model Solow-Swan menggunakan unsur pertumbuhan penduduk, akumulasi  kapital,kemajuan teknologi, dan besarnya output yang saling berinteraksi. Solow-Swan menggunakan model fungsi produksi yang memungkinkan adanya substitusi antara kapital (K) dan tenaga kerja (L). Dengan demikian, syarat-syarat adanya pertumbuhan ekonomi yang baik dalam model Solow-Swan kurang restriktif disebabkan kemungkinan substitusi antara tenaga kerja dan modal. Hal ini berarti ada fleksibilitas dalam rasio modal-output dan rasio modal-tenaga kerja. Teori Solow-Swan melihat bahwa dalam banyak hal mekanisme pasar dapat menciptakan keseimbangan, sehingga pemerintah tidak perlu terlalu banyak mencampuri atau mempengaruhi pasar. Campur tangan pemerintah hanya sebatas kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Tingkat pertumbuhan berasal dari tiga sumber yaitu, akumulasi modal, bertambahnya  penawaran tenaga kerja, dan peningkatan teknologi. Menurut Simon Kuznets, pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi bagi penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, kelembagaan, dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada.
         Dengan tingginya pertumbuhan ekonomi diharapkan akan mempunyai  dampak  multiplier atau yang dikenal dengan tricle down effect atau penetesan ke bawah semakin besar. Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi disuatu wilayah atau daerah  dalam suatu periode tertentu  ditunjukkan oleh data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Dari PDRB dapat dilihat beberapa indikator turunan yang mencerminkan lebih rinci perkembangan perekonomian antara lain struktur perekonomian, pendapatan perkapita, dan laju pertumbuhan ekonomi (Machmud, 2002:25). Tingginya nilai pendapatan perkapita  mencerminkan kesejahteraan  suatu daerah semakin baik, sehingga PAD yang akan diterima suatu daerah juga akan meningkat. Salah satu cara yang digunakan untuk mengukur tingkat  kesenjangan  ekonomi regional antar Kabupaten atau Kota adalah dengan Indeks Williamson. Williamson dalam (Kuncoro, 2004:133) meneliti hubungan antar disparitas regional dengan tingkat  pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Disparitas ekonomi regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih ‘matang’ dilihat dari pertumbuhan ekonomi tampak  adanya keseimbangan antardaerah dan disparitas berkurang dengan signifikan. 

2.2 Kerangka Pikir
  

3.  METODE 
 Artikel ini dibuat berdasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu gejala atau beberapa gejala ekonomi tertentu dengan jalan menganalisanya (Soekanto, 1986:36). Sifat dari artikel ini adalah menganalisis dengan model ekonomi dan dikomperatifkan dengan data-data statistik. Adapun sumber data dalam penulisan adalah ini adalah dengan menggunakan data-data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penulisan artikel ini yaitu buku teks, website resmi, jurnal, serta bahan lainnya yang berkaitan dengan pokok bahasan.

3.3.1. Indeks Williamson
Untuk melihat ketimpangan Pendapatan kota Ambon provinsi Maluku digunakan Indeks Williamson sebagai berikut :
 Keterangan :

Yi      =   PDRB perkapita di Kabupaten atau Kota ke i
Y       =   PDRB perkapita Provinsi
fi       =   Jumlah penduduk Kabupaten atau Kota ke i
n        =   Jumlah penduduk
i         =  1,2,………k
k        =   Jumlah Kabupaten atau Kota
Vw    =   0, artinya ketimpangan baik
Vw    =   1, artinya ketimpangan buruk

3.4. Batasan Operasional Variabel
Adapun beberapa variabel operasional yang digunakan adalah:
1.    Ketimpangan PDRB adalah perbedaaan tingkat kegiatan ekonomi dan pertumbuhan di suatu daerah tertentu jika dibandingkan dengan daerah lain yang ditinjau dari PDRB setiap daerah.
2.        Pertumbuhan Ekonomi adalah pertumbuhan kondisi ekonomi yang dinilai berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
3.        PDRB adalah nilai barang dan jasa yang dihasilkan pada waktu tertentu.
4.        PEMBAHASAN
Kota Ambon merupakan daerah yang memiliki nilai pendapatan asli daerah dan total penerimaan daerah yang tergolong baik jika dibandingan dengan daerah lainnya yang ada di provinsi Maluku. Pertumbuhan pendapatan daerah ini memiliki dampak positif terhadap pembangunan wilayah Provinsi Maluku karena setiap pembangunan tentunya memerlukan dana yang tidak sedikit jumlahnya. Pertumbuhan pendapatan daerah sering menjadi dilema dan penting untuk di optimalkan oleh pemerintah daerah sehingga masalah anggaran dalam upaya pengembangan wilayah Provinsi Maluku dapat teratasi.

4.1.    Analisis Ketimpangan
Ketimpangan yang terjadi antar daerah dapat dilihat melalui nilai PDRB, yang menunjukkan adanya variasi yang cukup besar antar daerah satu dan daerah lain. Distribusi PDRB kota Ambon secara keseluruhan meningkat, dapat dilihat pada tabel yang telah disampaikan sebelumnya. Kontribusi terbesar berada pada sektor perdagangan, perhotel dan restoran saja yang mendominasi, disusul jasa-jasa serta sektor pertanian, perikanan dan kehutanan belum memberikan kontribusi signifikan bagi kota Ambon.

4.2     Analisis Ketimpangan Indeks Williamson
Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih baik tentang kondisi dan perkembangan pembangunan di kota Ambon, berikut ini akan dibahas mengenai perkembangan pemerataan pembangunan antar wilayah. Dalam hal ini, kecenderungan pemerataan pembangunan antar wilayah dianalisis dengan menggunakan Indeks Ketimpangan Regional (Regional Inequality) yang semula digunakan oleh Jeffrey G. Williamson. Indeks Williamson yang digunakan dalam analisis ini menggunakan timbangan rasio penduduk di tiap provinsi  terhadap total penduduk seluruh provinsi. Dengan alat analisis tersebut, walaupun suatu provinsi mempunyai PDRB per kapita yang ekstrim tinggi, namun kalau jumlah penduduknya relatif kecil, maka tidak terlalu menyebabkan ketimpangan yang tinggi. Sebaliknya, walaupun besaran PDRB per kapita suatu provinsi hanya moderat saja dibandingkan provinsi lain yang kecil, namun kalau jumlah penduduknya relatif besar maka akan menyebabkan ketimpangan secara keseluruhan. Indeks ketimpangan Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar dari atau sama dengan nol – bernilai nol berarti tidak adanya ketimpangan ekonomi antar daerah, lebih besar dari nol menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi antar daerah – semakin besar indeks yang dihasilkan semakin besar gejala ketimpangan antar pembangunan daerah.

  

      Selama enam tahun terakhir terjadi pertumbuhan IW yang sangat fluktuatif oleh kedua daerah tersebut. Kota Ambon dalam perkembangannya mengalami penurunan pada tahun 2010 dan 2011 sebesar 0,60% dan 2014 sebesar 0,89 jika dibandingkan dengan kelima tahun lainnya. Namun pada tahun tertentu terjadi peningkatan yang signifikan yaitu pada tahun 2009 sebesar 0,71%, tahun 2012 sebesar 0,61% dan pada tahun 2013 sebesar 0,90%. Pertumbuhan IW provinsi Maluku masih sangat mengalami ketimpangan yang semakin kecil dengan angka rata-rata sebesar 0,73%. Artinya kota ambon memiliki peran penting dalam memberikan kontribusi PDRB kepada provinsi Maluku, yaitu setiap tahun jumlah IW berada pada angka >50%. Kota ambon diperkuat dengan laju pertumbuhan penduduk yang relatif melambat namun PDRB dalam enam tahun terakhir menunjukan peningkatan yang signifkan. Kondisi ini disebabkan kerena adanya praktik investasi yang tinggi, pembangunan infrastuktur dan pelaksanaan bisnis, ivent-ivent daerah yang menarik pengunjung dan wisatawan dan UMKM yang tumbuh dinamis memberikan peluang untuk menumbuhkan PDRB kota Ambon. Kondisi ini relevan dengan pernyataan Irma Adelman dan Chynthia Taft Morris (dalam Arsyad,1999:226), penyebab ketimpangan atau ketidakmerataan distribusi pendapatan dinegara sedang berkembang yakni:
-       Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan perkapita
-       Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proposional dengan pertambahan produksi barang-barang
-       Ketidakmerataan pembangunan antar daerah
-       Investasi yang banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital intensive) sehingga prosentase pendapatan modal dari harta tambahan besar dibanding dengan presentase pendapatan yang berasal dari kerja sehingga pengagguran bertambah
-       Rendahnya mobilitas sosial
-       Pelaksanaan kebijaksanaan industri subsitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis
-       Memburuknya nilai tukar (term off trade) bagi negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju sebagai akibat ketidak elastisan permintaan negara-negara terhadap barang-barang ekspor negara sedang berkembang
-       Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.


5.  KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.  Kesimpulan
Berdasarkan perhitungan Indeks Williamson dapat disimpulkan bahwa terjadi ketimpangan yang semakin kecil pada kota Ambon selama periode 2009 sampai dengan 2014. Hal ini disebabkan karena laju pertumbuhan penduduk tidaklah signifikan dan PDRB kota Ambon semakin menguat. 

5.2  Saran Tindak
            Berdasarkan hasil penelitian dapat diberikan beberapa saran yaitu:
1.  Bagi pemerintah kota Ambon dapat membuat kebijakan yang tepat untuk mengurangi ketimpangan antar provinsi tersebut. 
2.   Optimalisasi potensi daerah potensial dengan melakukan investasi dan intervensi APBD perlu dioptimalkan untuk program kegiatan yang menghasilkan produktivitas tinggi demi added value yang berkesinambungan.


 DAFTAR PUSTAKA



Badan Pusat Statistik. 2016
Davey. K. J, Pembiayaan Pemerintah Daerah, Praktek – Praktek Internasional dan relevansinya bagi Dunia Ketiga(dunia baru,1982);
Irawan dan Suparmoko, M. 1999. Ekonomika Pembangunan Edisi Kelima. BPFE Yogyakarta: Yogyakarta.
-              Kuncoro, Mudrajad (2011) Perencanaan Daerah, penerbit salemba empat, Jakarta;
-              ..............., (2015) Mudah Memahami & Menganalisis Indikator Ekonomi, penerbit UPP STIM YKPN, Yogyakarta
-              .................., 2002. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta: Penerbit Erlangga
-              Samuelson, Paul A. & William D. Nordhaus, 2002, Makro Ekonomi, Erlangga Jakarta.
-              Sonny Sumarsono, Manajemen Keuangan Pemerintahan Graha Ilmu, , 2010, Yogyakarta;
-              SumitroDjojohadikusumo,EkonomiPembangunan,. PT Pembangunan,1960, Jakarta;
-              Suparmoko, M. 2002. Ekonomi Publik Untuk Keuangan & Pembangunan Daerah, Edisi Pertama. Yogyakarta : Andi Yogyakarta
-              Tarigan, Robinson. 2000. Ekonomi Regional(Teori Dan Aplikasi).



LAMPIRAN :


            Sumber : hasil olahan
 



 *) ASN Pemda MTB lulusan Magister Keuangan Publik pada MIE UPN Yogyakarta dan Lulusan Magister Manajemen Aset dan Penilaian Properti pada MEP UGM Yogyakarta.

















Komentar

Postingan Populer