PRAKTEK PENGALIHAN HAK ATAS TANAH ULAYAT DALAM PEMBANGUNAN BANDARA MATHILDA BATLAYERY SAUMLAKIKABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT



I.        PENDAHULUAN
             1.1  Latar Belakang
Tanah merupakan aset bangsa sebagai sumber daya alam yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk dimiliki dan digunakan secara individu maupun bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan primer maupun diberdayakan untuk memenuhi kebutuhan sosial berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tanah merupakan sumber daya alam yang stratrgis bagi bangsa, negara dan rakyat, maka didalam konsitusi yang berlaku di Indonesia telah diatur tentang tanah sejak kemerdekaan bangsa ini. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjelaskan bahwa segala kekayaan alam dikuasai oleh negara. Kewenangannegara ini ditegaskan kembali dalam Pasal 2 UUPA No. 5 Tahun 1960 yaitu bahwa untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong dalam tatanan hukum agraria nasional.
Dengan kebijakan negara yang tertuang dalam regulasi tersebut, maka otomatis secara hukum seluruh ketentuan yang diatur dalam hukum negara jajahan dicabut dan tidak berlaku karena sangat merugikan negara dan masyarakat indonesia. Ketidakberlakuan tersebut mencakup Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872 No. 117) dan peraturan pelaksanaannya dan AgrarischeWet (Staatsblad 1870 No. 55), sebagaimana yang termuat dalam pasal 51 Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie (Staatsblad 1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal tersebut.
Dalam Pasal 3 UUPA No. 5 Tahun 1960  menjelaskan bahwadengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannyamasih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Sehingga dalam pelaksanaannya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna usaha demikepentingan yang lebih luas maupun menolak kebutuhan dan kebijakan nasional yang lebih besar dan memiliki hasil positif dan signifikan bagi masyarakat. Dengan demikian pembebasan tanah merupakan kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak atas tanah sebagaimana diataur lebih rinci didalam ketentuan Pasal 53 ayat (3) dan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang dalam pelaksanaannya secara teknis telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 71 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dengan demikian maka pembangunan bandar udara merupakan pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana amanat peraturan perundang undangan yang berlaku yang dalam prosesnya perlu dilakukan pengalihan hak atas tanah dari pihak pemilik tanah kepada negara untuk digunakan sebesar besarnya kepentingan rakyat.
Pasal 1 Permeneg Agraria No. 5 Tahun 1999, menyebutkan bahwa Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Sedangkan, masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Dengan demikian Tanah ulayat merupakan salah satu wujud dari titipan lelehur untuk dikelolah demi memenuhi kebutuhan anak cucunya, Jadi, hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat. Sedangkan Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.
Tanah Adat Amtufu merupakan tanah ulayat dua desa yaitu desa Lorulung dan desa Tumbur yang memiliki struktur adat dan petuanan yang sama yang disebut dengan “makan bersama” yaitu seluruh aktifitas adat dan hak petuanan yang diolah secara bersama-sama. Kedua desa ini saling berdekatan dan tidak memiliki batas wilayah yang memisahkan. Menurut sejarah, kedua desa ini dulunya adalah satu kampung yang bernama kampung Amtufu. Menurut informasi bahwa memecahkan satu kampung menjadi dua adalah karena petuanan Amtufu yang luas dan berpotensi adanya penyerobotan dari kampung lainnya. Kesepakatan tersebut diambil oleh leluhur dengan memberikan kesempatan kepada para marga/soa yang hendak pindah ke tanah wilayah disebelah selatan. Strategi leluhur untuk menjaga batas petuanan mereka berjalan dengan baik dan kedua kampung tersebut telah berkembang hingga saat ini, dan masih mengakui dan menjalankan ketentuan adat dalam seluruh sendi kehidupan di desa dalam satu kesatuan masyarakat adat kampung Amtufu.
Kampung Amtufu terletak di Kecamatan Weartambrian Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang hingga saat ini masih menjalankan kehidupan sosial berdasarkan budaya dan adat yang di wariskan oleh leluhur sebagaimana desa lainnya. Hukum adat yang dipegang teguh dan dilestarikan merupakan manifestasi dari hukum duan lolat yang diwariskan leluhur. Pada umumnya hubungan sosial orang tanimbar dipengaruhi oleh struktur sosial yang menjadi identitas bersama yang disebut Duan Lolat. Drabbe maupun PR Renwarin menyimpulkan bahwa duan lolat merupakan struktur sosial yang mengatur hubungan sosial orang Tanimbar secara keseluruhan. Hubungan sosial mereka selalu didasarkan pada ikatan perkawinan yang terjadi diantara mereka. Dalam konteks perkawinan tersebut, pihak keluarga yang memberi anak dara, dialah yang kemudian menjadi duan dan pihak yang menerima anak dara yang selanjutnya menjadi lolat. Hubungan duan maupun lolat merupakan bagian dari status sosial yang ada dalam struktur sosial tersebut, sehingga masing-masing pihak berpegang teguh atas berbagai hak dan kewajiban yang dimiliki. Status yang kemudian menimbulkan peran tersebut dipegang teguh dalam dinamika kehidupan masyarakat di Tanimbar pada umumnya (Koritelu, Paulus dkk. 2002).Dinamika kehidupan masyarakat adat tersebut dalam warisan petuanan-pun selalu berlandaskan hukum duan lolat dimana dalam prakteknya apabila pihak duan atau lolat yang membutuhkan tanah masing-masing dari mereka dapat memilikinya melalui praktik adat yang jalaniselama ini.
Masyarakat adat amtufu (desa tumbur dan lorulung) pada umumnya berpekerjaan sebagai petani. Dalam pelepasan tanah ulayat menjadi dilematis tersendiri bagi masyarakat setempat. Disatu sisi sebagai warga negara diperhadapkan dengan kebijakan negara untuk membuka akses dimana saumlaki berpeluang sebagai pintu masuk selatan indonesia, namun disatu sisi dengan kebutuhan tanah yang sangat luas berdampak pada semakin terbatasnya masyarakan kedua desa yang memiliki satu petuanan dan hak adat ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, disamping itu tanah yang dimiliki mempunyai nilai historis sendiri yang adalah atas hasil perjuangan datuk-datuk atau leluhur melalui proses perang yang panjang untuk mengasai, mempertahankan dan berdominsili tetap didaerah tersebut dan bagi kelangsungan anak cucunya.
Semakin meningkatnya kebutuhan tanah untuk pembangunan dan keterbatasan tanah negara, maka pilihan klasik pemerintah adalah dengan digunakannya tanah ulayat untuk kepentingan nasional. Sejalan dengan itu maka pemerintah akan berhubungan langsung dengan tua-tua adat dan ketua pemangku adat di desa sebagai representasi dari warga desa untuk mendukung program pemerintah tersebut dengan tujuan akhir adalah pengalihan tanah ulayat sebagai tanah negara.
Gambar 1 : Lokasi dan Aktivitas Bandara Matilda Batlayeri Saumlaki
 

Sumber : hubud.dephub.go.id dan bijaks.net (2014)



Fenomena yang terjadi saat ini adalah masyarakat mengklaim bahwa pemerintah daerah telah melengceng dari musyawarah yang telah disepakati bersama masyarakat tentang besaran ganti kerugian,Penolakan pembayarakan oleh masyarakat;Panangguhan pembanyaran oleh pemerintah daerah dan anggapan adanya penyerobotan lahan diluar kesepakatan;
Dari kondisi diatas, maka sudah tentu proses pengalihan hak atas tanah ulayat kepada pemerintah daerah semenjak tahun 2003 hingga saat ini belum dapat terealisasi karena belum adanya kesepakatan dan penyerahan hak kepada pemerintah daerah sehingga hibah kepada kementrian Perhubungan hingga saat ini belum dapat dilaksanakan. Kondisi ini akan sangat berdampak pada kebijakan strategis nasional pada tahun-tahun berikutnya tentang pengembangan dan peningkatan status bandara Mathilda Batlayeri nantinya. Masyarakat dengan kondisi saat ini dimana adanya ketidakpercayaan terhadap pemerintah daerah dapat menghambat pengadaan tanah untuk meningkatkan volume dan status dari bandara tersebut.
2. Rumusan Masalah
Pengalihan Hak Atas Tanah Ulayat masih menyisahkan pekerjaan rumah bagi pemerintah karena selama + 13 tahun pelepasan tanah seluas 250 hektar untuk  Bendara Mathilda Batlayeri belum sepenuhnya rampung, kondisi ini disebabkan karena adanya ketidak puasan dari sebagian masyarakat atas besaran ganti kerugian yang disepakati pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Selain itu ketidak puasan masyarakat Amtufu atas keputusan pemerintah daerah yang melanggar kesepakatan awal tentang tanggungan pajak diluar pembayaran ganti kerugian sebesar Rp2000/meter2yang merupakan tanggungan pemerintah daerah namun kenyataannya dibebankan didalam nominal pembayaran ganti kerugian tersebut. Masyarakat Amtufu juga menuntut untuk melakukan peninjauan dan pengukuran kembali tanah lokasi bandara yang dilepaskan dengan luas 250 hektar yang diduga telah ditambah volumenya sebelum dipagari. Kondisi ini menurut masyarakat adat setempat sebagai praktek sabotase yang tidak berpihak kepada masyarakat dimana tanah yang semakin sempit akan berdampak pada ketidaktersediaannya lahan baru bagi generasi berikut untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
     1.1  Tujuan dan Manfaat
1.1.1        Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai tugas akhir mata kuliah Hukum Properti pada semester II (dua).
1.1.2        Manfaat

Manfaat dari tugas ini adalah dapat memahami secara konseptual danimplementasi aturan dalam pengalihan hak atas tanah ulayat secara adil.
 

I.       TINJAUAN PUSTAKA
a.      Pengertian Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat mendiami wilayahtertentu dan mengklaim wilayahnya sebagai hak ulayat (hak atas wilayah). Mereka merupakan masyarakat yang jauh sebelum bernegara telah ada dan mendiami wilayah tertentu.
Pengertian terhadap istilah hak ulayat menurut G. Kertasapoetra dan kawan-kawan (1985:88) menyatakan bahwa ;
“Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)

Herman (2000) menegaskan pula bahwa ulayat adalah :
wilayah atau torirorial suatu masyarakat hukum adat dimana semua tanah yang ada didalam wilayah ulayat disebut tanah ulayat. Diatas tanah ulayat itulah dijalin hubungan hukum antara manusia sebagai anggota masyarakat yang menyebabkan lahirnya hak-hak atas tanah. Sehingga dapat dikatakan bahwa ulayat adalah wadah atau tempat bagi tumbuhnya hak-hak atas tanah. Sedangkan tanah ulayat adalah objek bagi pertalian hubungan hukum antara manusia dengan tanah dan antara manusia dengan manusia atas tanah. Sehngga masyarakat tidak berkuasa untuk mengalihkan selama-lamanya tanah ulayat kepada pihak luar yang bukan anggota persekutuan hidup.

Didalam UUPA dan peraturan perundang-undangan setelah itu belum dijelaskan secara rinci tentang defenisi dari tanah ulayat. Definisi tanah ulayat baru dijelaskan dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,yang menyebutkan bahwa Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Sedangkan, masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Hak ulayat merupakan hak atas tanah adat yang diakui oleh pemerintah yang hingga saat ini masih dijaga dan lestarikan dalam masyarakat hukum adat. Hak ulayat didalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak tersebut, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Hak ulayat merupakan hak atas tanah adat yang diakui oleh pemerintah yang hingga saat ini masih dijaga dan lestarikan dalam masyarakat hukum adat. Hak ulayat didalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak tersebut, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan.
Menurut Rustandi Ardiwilaga dalam jurnal Rosalina Eksistensi Hak Ulayat (2010), bahwa lahirnya pemilikan tanah bagi individu umumnya diawali pembukaan tanah yang diberitahukan kepala persekutuan hukum dan diberikan tanda bahwa tanah itu akan digarap. Tanda itu, merupakan tanda pelarangan sehingga hasil pohon, tanah ataupun kolam yang ada hanya untuk yang berkepentingan saja, orang lain tidak boleh menggunakan dan mengambil hasilnya, jika ada penyerobotan maka akan dilakukan perundingan secara bersama-sama, misalnya di tanimbar disebut dengan sebutan sasiadat yang di tancapkan janur kuning atau daun kelapa yang masih mudah pada lokasi tanah tersebut, mereka akan melihat tanda tersebut bahwa ada pihak yang melarang adanya praktek diluar sepengetahuan yang memiliki tanah tersebut sehingga perlu dirundingkan melalui proses adat yang dihadiri oleh tua-tua adat desa setempat.

b.      Pengalihan Hak Atas Tanah
Peralihan atau pemindahan hak atas tanah berupa jual beli merupakan perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar  hak atas tanah berpindah dari yang mengalihkan (penjual) kepada penerima pengalihan tersebut (pembeli).
Apabila akta PPAT, dokumen-dokumen, data-data yang bersangkutan lengkap, dan benar serta tidak disengketakan, maka diterbitkan Surat Tanda Bukti Hak berupa sertifikat. Penerbitan sertifikat dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya, serta sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum yang berlaku terhadap pihak ketiga (Adrian Sutedi, 2007: 142)
Sesuai Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyatakan bahwa setelah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT Sementara) membuat akta, selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta tersebut, PPAT atau PPAT Sementara wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.
Kepala Kantor Pertanahan menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah, jika salah satu syarat di bawah ini tidak terpenuhi:
1.      Sertifikat atau surat keterangan tentang keadaan hak atas tanah tidak sesuai lagi dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor Pertanahan.
2.      Perbuatan hukum berupa jual beli tanah tidak dibuktikan dengan akta PPAT.
3.      Perbuatan hukum berupa jual beli tanah tidak dibuktikan dengan akta PPAT.
4.      Tidak dipenuhi syarat lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
5.       Tanah yang bersangkutan merupakan obyek sengketa di Pengadilan.
6.       Perbuatan hukum berupa jual beli tanah yang dibuktikan dengan akta PPAT batal atau dibatalkan oleh putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
7.       Perbuatan hukum berupa jual beli tanah yang dibuktikan dengan akta PPAT dibatalkan oleh para pihak sebelum didaftar oleh Kantor Pertanahan
Penolakan Kepala Kantor Pertanahan dilakukan secara tertulis dengan menyebut alasan-alasan penolakan itu, surat penolakan tersebut disampaikan kepada yang berkepentingan, disertai pengembalian berkas permohonannya, dengan salinan kepada PPAT (A.P.Parlindungan, 1999: 146). Hak - hak atas tanah yang dimaksud diatur dalam Pasal 16 Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria (UUPA), yaitu :
1. Hak milik.
2. Hak guna usaha.
3. Hak guna bangunan.
4. Hak pakai.
5. Hak sewa.
6. Hak membuka tanah.
7. Hak memungut hasil hutan.
8. Hak - hak lain yang tidak termasuk dalam hak - hak tersebut di atas yang ditetapkan dalam undang - undang serta hak - hak yang sifatnya sementarasebagaimana disebutkan dalam Pasal 53, yaitu :
a. Hak gadai.
b. Hak usaha bagi hasil.
c. Hak menumpang.
d. Hak sewa tanah pertanian.
Ada 2 (dua) cara dalam mendapatkan ataupun memperoleh hak milik, yakni :
1.      Dengan pengalihan, yang meliputi beralih dan dialihkan. Dalam hal ini berartiada pihak yang kehilangan yaitu pemilik semula dan pihak lain yangmendapatkan suatu hak milik.Terjadinya hak milik sesuai dengan Undang–Undang Pokok Agraria Nomor 5Tahun 1960 pada Pasal 22, yaitu:Terjadinya hak milik menurut hukum adat yang diatur dengan PeraturanPemerintah. Dalam hal ini berarti terjadinya hak milik tesebut, diawalidengan hak seorang warga untuk membuka hutan dalam lingkunganwilayah masyarakat hukum adat dengan persetujuan Kepala Desa. Dengandibukanya tanah tesebut, belum berarti orang tersebut langsungmemperoleh hak milik. Hak milik akan dapat tercipta jika orang tersebut memanfaatkan tanah yang telah dibukanya, menanami dan memelihara tanah tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama. Dari sinilah hak milik dapat tercipta, yang sekarang diakui sebagai hak milik menurut UUPA. Terjadinya hak milik dengan cara ini memerlukan waktu yang cukup lama dan tentunya memerlukan penegasan yang berupa pengakuan dari pemerintah.
2.      Terjadinya hak milik karena penetapan pemerintah, yaitu yang diberikanoleh pemerintah dengan suatu penetapan menurut cara dan syarat-syaratyang telah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah. Dalam hal ini berartipemerintah memberikan hak milik yang baru sama sekali. Pemerintah jugadapat memberikan hak milik berdasarkan perubahan dari suatu hak yangsudah ada. Misalnya dengan peningkatan dari Hak Guna Usaha menjadiHak Milik, Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik, Hak Pakai menjadiHak Milik.

c.       Tanimbar dan Hukum Adat
Salah satu dasar hukum adat menurut pospisil, 1958 dalam Koentjaraningrat (1985), keputusan-keputusan pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi berdasarkan kekuasaan masyarakat yang nyata dan mewajibkan ketaatan dari semua pihak yang bersangkutan dengan tekanan sanksi nyata. Nilai-nilai lokal dan kearifan tradisional, bagi masyarakat bersangkutan merupakan pedoman dan kepercayaan yang harus diikuti turun temurun tanpa reverse. Melalui lembaga adat, masyarakat setempat membentuk suatu komunitas untuk mendapatkan nilai-nilai lokal dan tradisional. Itulah sebabnya lembaga adat adat bersifat mantap, kokoh dan menjadi rujukan sikap masyarakat tradisional dalam mengelola lingkungan hidupnya (Hendropuspito, 1989). Sehingga siapapun yang terpilih sebagai ketua lembaga adat tidak akan berani melanggar nilai-nilai lokal dan tradosional. Berbicara tentang lembaga adat tidak dapat dilepaskan dari keberadaan pranata sosial. Menurut Narwoko dan Suryanto, (2004) dalam Ibrahim (2002), terdapat tiga kunci didalam pranata sosial yaitu 1). Norma dan nilai; 2). Pola perilaku yang dibakukan atau disebut prosedur umum; 3). Sistem hubungan, yakni jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku. Dalam kehidupan masyarakat Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, telah sejak lama terpelihara sebuah nilai kekerabatan yang disebut sebagai duan lolat. Sebagaimana disampaikan dalam artikel Kompasiana.com oleh Nikolaus Powell Reressy bahwa Drabbe (1928 dan 1989), Bohm (1995), Koritelu (2009), Pangemanan dan Bohm (2011), de Jonge dan van Dijk (2011), Lerebulan (2011), dan Wuritimur (2012) adalah sekelompok orang yang telah meneliti dan menulis nilai duan lolat. Dalam tulisan-tulisan tersebut diterangkan bahwa secara harfiah, kata duan berarti tuan atau pemilik suatu barang. Tuan atau pemilik ini berfungsi sebagai pelindung terhadap barang itu. Sementara itu kata lolat berarti penerima suatu barang. Pelembagaan nilai duan lolat terjadi pada proses perkawinan adat, dimana duan merupakan predikat yang diberikan kepada kelompok keluarga yang bertindak sebagai pemberi perempuan, sedangkan lolat adalah predikat bagi kelompok keluarga yang bertindak sebagai penerima perempuan. Hubungan kekerabatan duan lolat di atas tersimbol dalam berbagai bentuk barang pemberian, baik dari pihak duan maupun dari pihak lolat, yang berlangsung secara makanik dalam setiap peristiwa kehidupan masyarakat Tanimbar. Peristiwa-peristiwa dimaksud berlangsung di sepanjang kehidupan manusia, mulai dari kelahiran, perkawinan, pembangunan rumah, sampai pada kematian. Pihak duan biasanya berkewajiban untuk memberikan pakaian dan perlengkapannya, termasuk juga bahan makanan berupa beras dan umbi-umbian, kepada pihak lolat. Sementara itu, pihak lolat berkewajiban untuk memberikan lauk-pauk seperti daging dan minuman sopi (tuak khas Tanimbar) kepada pihak duan.
Hukum adat dalam masyarakat Tanimbar biasanya disebut sebagai hukum Duan Lolat. Duan berasal dari kata ”Ndrue” yang berarti tuan, raja, pemimpin dan penguasa. Dalam strata sosial masyarakat Tanimbar, Duan selalu memiliki kedudukan lebih tinggi daripada Lolat. Duan Lolat merupakan simbol adat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Tanimbar. Duan adalah tanah dan Lolat adalah hujan. Lolat disimbolkan dengan hujan yang jatuh ke bumi yang memberikan kesuburan pada tanah. Duan besar adalah Tuhan sedangkan  manusia adalah Lolat. Duan dan Lolat memiliki arti lain, Duan dapat berarti pemberi dara sedangkan Lolat berarti penerima dara. Duan dan Lolat dalam arti harafiah dapat dipahami sebagai hubungan antara tuan (duan) dan hambanya (lolat). Duan berarti pemberi anak dara dan Lolat berarti penerima anak dara. Duan dan Lolat merupakan keterikatan adat istiadat yang sangat kental dan erat dalam berbagai aktifitas dalam masyarakat Tanimbar. Hukum Duan Lolat mengandung nilai dan norma yang hidup di kepulauan Tanimbar untuk mengatur hubungan darah dari sebuah perkawinan suami atau laki-laki dan isteri atau perempuan yang berlansung secara terus menerus dalam kehidupan masyarakat Tanimbar. Hukum adat Duan Lolat mempunyai fungsi untuk mengatur hubungan sosial dan menjelaskan aturan dalam bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari baik itu dalam menyelesaikan masalah, pembagian harta warisan sampai pada penyelesaian kejahatan.

d.      Ganti Kerugian Tanah untuk Kepentingan Umum
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak (Pasal 1 angka 2). Pihak yang berhak tersebut adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah (Pasal 1 angka 3). Objek Pengadaan Tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai (Pasal 1 angka 4).
UUPA dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 mengatakan kepentingan umum dinyatakan dalam arti peruntukannya, yaitu :
“Untuk kepentingan bangsa dan negara, kepentingan bersama dari rakyat dan kepentingan pembangunan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan tersebut harus memenuhi peruntukannya dan harus dirasakan kemanfaatannya, dalam arti dapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan dan atau secara langsung”
 Menurut Maria S.W Sumardjono ganti rugi diberikan dalam bentuk :
1.        Uang;
2.        Tanah dan/atau bangunan pengganti atau pemukiman kembali;
3.        Tanah dan/atau bangunan dan/atau fasilitas lainnya dengan nilai paling kurang sama dengan harta benda wakaf yang dilepaskan;
4.        Recognisi berupa pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yangbermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat setempat (untuk tanah ulayat), atau sesuai keputusan pejabat yang berwenang untuk tanah instansi pemerintah atau pemerintah daerah.
Pendapat Sudaryo Soimin, pembebasan tanah tidak terlepas dari masalah ganti rugi yang menjelaskan bahwa :
“Ganti Rugi (Compensation) yang utama adalah merupakan penggantian kerugian, bilamana harta seseorang pemilik yang dicabut dari harta pribadinya. Nilai ganti rugi yang dibayar tersebut harus sama dengan nilai yang diambil padanya, tujuan dan ganti rugi itu untuk mendapatkan uang yang nilainya setara dengan yang diambil.”

Asas dalam pengadaan tanah menurut hukum nasional dalam makalah Syafrudin Kalo (2004), disampaikan bahwa :
 1. Asas Kesepakatan / Konsensus;
2. Asas Kemanfaatan;
3. Asas Kepastian;
4. Asas Keadilan;
5. Asas Musyawarah;
6. Asas keterbukaan;
7. Asas Keikutsertaan
8. Asas Kesetaraan.

Maria S.W Sumardjono (2001) tanah negara adalah tanah-tanah yang tidak dilekati dengan suatu hak yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara, hak pengelolan serta tanah ulayat dan tanah wakaf. Adapun ruang lingkup tanah negara meliputi :
1.       Tanah-tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya;
2.     Tanah-tanah hak yang berakhir jangka waktunya dan tidak diperpanjang lagi;
3.   Tanah-tanah yang pemegang haknya meninggal dunia tanpa ahli waris;Tanah-tanah yang ditelantarkan;
4.        Tanah-tanah yang diambil untuk kepentingan umum.
Menurut Ali Ahmad Chomzah kriteria kepentingan umum serta prosedur untuk menerapkannya tidak akan dapat berjalan dengan baik apabila tidak tersedia sumber daya manusia pelaksana yang memenuhi kualifikasi, baik secara moral maupun profesional.
Pertama, kualifikasi moral, artinya bahwa dalam penentuan kepentingan umum dibutuhkan orang-orang yang secara jelas memunyai sikap, prilaku dan komitmen terhadap moral, menjaga kejujuran, dan kebenaran dalam menentukan pemanfaatan kepentingan umum tersebut sehingga tidak ada lagi kepentingan umum sekedar kedok untuk mewujudkan kepentingan pribadi.
Kedua, kualifikasi profesional, artinya bahwa dalam penentuan kepentingan umum dibutuhkan orang-orang yang benarmengerti segala kompleksitas persoalan hukum tanah, baik hukum positif maupun hukum yang hidup di masyarakat. Persoalan sengketa tanah yang akhir-akhir ini justru menggejala dan menimbulkan korban manusia terjadi diakibatkan oleh kecerobohan dan ketidaktahuan aparat tentang hukum tanah. Misalnya, kasus pembunuhan masyarakat transmigran oleh penduduk adat setempat, hal ini terjadi akibat tidaktahu kepemilikian hukum adat yang hidup di masyarakat setempat.
Menurut pendapat Ali Ahmad Chomzah, bahwa :
“pengambilan keputusan oleh Pemerintah pada setiap jenjang pemerintahan untuk mendapatkan hak atas tanah harus selalu didasarkan pada kebutuhan tanah dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dalam rangka mencapai tujuan negara sebagaimana dirumuskan pada alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa”

Dari konsep di atas dapat dipahami bahwa tujuan dan perolehan tanah yang dilakukan pemerintah sepenuhnya untuk kepentingan umum dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga manakala pemerintah membutuhkan tanah masyarakat haruslah dilakukan dengan cara-cara atau sesuai dengan prosedur hukum sehingga tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kepentingan umum tidak bersebrangan dengan pemilik tanah yang berhak atas tanah tersebut.
I.     METODE

Makalah hukum properti merupakan tugas yang dibuat berdasarkan pada metoda, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu gejala atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya (Soekanto, 1986:36). Jenis penelitian yang digunakan dalam tugas ini adalah bersifat normatif yang merupakan suatu penelitian yang mempelajari norma norma hukum yang merupakan bagian essensial dalam ilmu hukum (Mahmud, 2005:36), dikomperatifkan dengan ilmu penilaian properti serta implementasi kebijakan dan praktek dilapangan.
Sifat dari tugas ini adalah menjelaskan dari perspektif hukum yang berhubungan dengan property secara normatif yang dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori, konsep baru sebagai prespektif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Mahmud,2005:35).  
Adapun sumber data dalam penulisan paper ini adalah dengan menggunakan data-data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu merupakan bahan hukum yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berbagai referensi berupa buku cetak, Koran online, artikel, serta bahan lainnya yang berkaitan dengan pokok bahasan. 

 
I.         PEMBAHASAN

3.1 Implementasi Pengalihan Hak Atas Tanah
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibahatau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain Pemerintah guna pelaksanaanpembangunan termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus.
Pemindahan hak atas tanah adalah perbuatan hukum untuk memindahkan hak atas tanah kapada pihak lain. Pemindahan dilakukan apabila status hukum pihak yang akan menguasai tanah memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah yang tersedia, dan pemegang hak atas tanah tersebut bersedia untuk memindahkan haknya. Secara khusus Herman Soesangobeng mengatakan falsafah kepemilikan atas tanah dalam hukum adat, hakekat dasarnya adalah dari pertautan manusia dengan tanah dan alamnya dan bukan pada hak, melainkan pada hubungan kuatnya pertautan hubungan yang melahirkan kewenangan (hak). Oleh karena itu hak lahir melalui proses intensitas hubungan antara manusia dengan tanah tidak dari keputusan pejabat. Dalam filosofi adat, hak dipahamkan sebagai suatu yang relatif dan mudah berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga hak sesuatu yang tidak mutlak. Pengalihan hak atas tanah, yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. Dengan demikian berarti setiap pengalihan hak milik atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan PPAT. Jual beli, tukar menukar atau hibah ini dalam konsepsi hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai. Dengan terang dimaksudkan bahwa perbuatan hukum tersebut harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yang menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan hukum tersebut.
Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan selesainya perbuatan hukum dihadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan hukum yang dilakukan dengan segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai hak atas tanah (hakmilik) yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak atas bidang tanah tersebut.
Konsepsi pengalihan hak atas tanah merupakan aktifitas penjualan, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah maupun cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah guna pelaksanaan pembangunan termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus.  Hak - hak atas tanah yang dimaksud antara lain hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak - hak lain yang tidak termasuk dalam hak - hak tersebut di atas yang ditetapkan dalam undang – undang.  Hak - hak yang sifatnya sementara yaitu Hak gadai, hak usaha bagi hasil, Hak menumpang, hak sewa tanah pertanian.
Peralihan hak atas tanah merupakan berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak yang lama kepada pemegang hak yamg baru dengan dua 2 (dua) cara peralihan hak atas tanah, yaitu beralih dan dialihkan. Beralih menunjukkan berpindahnya hak atas tanah tanpa ada perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemiliknya, misalnya melalui pewarisan. Sedangkan dialihkan menunjuk pada berpindahnya hak atas tanah melalui perbuatan hukum yang dilakukan pemiliknya, misalnya melalui jual beli.
Tanah milik masyarakat ulayat hukum adat dapat melepaskan tanah tersebut dengan cara tukar guling (ruislag) atau melalui pelepasan hak atas tanah terlebih dahulu oleh kepala adat. Hak atas tanah adalah hak yang memberi kewenangan kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penguasaan atas tanah.

3.2 Mekanisme dan kendala Pengalihan Hak atas Tanah untuk pembangunan Bandara Mathilda Batlayeri
Dalam tahapan pembebasan lahan perlu adanya upaya pihak yang berkepentingan dengan masyarakat dalam upaya secara menguntungkan dan menghindari salah prosedur yang secara umum dapat dilakukan melalui beberapa mekanisme menurut PP 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yaitu :
1.      Melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan
Dalam pemberitahuan rencana pembangunan berupa penyampaian maksud dan tujuan rencana pembangunan, letak tanah dan luas tanah yang dibutuhkan, tahapan rencana Pengadaan Tanah, perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pengadaan Tanah, perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pembangunan; dan informasi lainnya yang dianggap perlu. Pemerintah daerah sebagai pihak yang berkepentingan telah melakukan pemberitahuan, kegiatan sosialisasi, tatap muka dan surat pemberitahuan terkait akan dilaksanakannya pembangunan bandara tersebut.

2.      Musyawarah
Musyawarah yang berisikan tentang negosiasi dan kesepakatan mengenai harga ganti kerugian tanah, tanaman dan bangunan. Pelaksanaan musyawarah dibagi dalam beberapa kelompok dengan mempertimbangkan jumlah Pihak yang Berhak, waktu dan tempat pelaksanaan musyawarah penetapan Ganti Kerugian.
Dalam pelaksanaannya masyarakat Amtufu dan pemerintah daerah melakukan musyawarah yang dihadiri oleh seluruh ketua dan anggota pemangku adat, tokoh masyarakat dan seuruh masyarakat Amtufu baik dari desa Lorulung maupun desa Tumbur.
3.      Penetapan Ganti Kerugian
Kesepakan bersama antara yang berkepentingan dengan pemilik tanah tentang besaran uang, barang dan benda yang ditukarkan tanpa ada paksaan dan tindakan intimidasi lainnya yang dapat merugikan pihak pemilik tanah.Dari hasil musyawarah disepakati ganti kerugian sebesar Rp2000,00.
Harga tanah permeter persegi yang disetujui bukan atas dasar nilai tanah yang dikeluarkan oleh penilai independen.
4.      Pembayaran Ganti Kerugian
Kepada yang berhak menerima ganti kerugian pada tahap pertama dapat berjalan dengan lancar namun pada tahap selanjutnya terjadi gagal bayar atas tanah dan tanaman karena adanya penolakan olah beberapa marga/Soa terhadap inkonsisitensi pemerintah daerah dalam menentukan jumlah harga yang dibayarkan sebagai ganti kerugian. Dimana kesepakatan awal bahwa masyarakat menerima besaran dana tanpa pemotongan pajak namun dalam prakteknya masyarakat dibebankan lagi pembayaran pajak dari kesepakatan jumlah ganti kerugian tersebut.
3.3 Konflik dalam pengalihan hak atas tanah
Tidak jarang pemerintah mengalami konflik dengan masyarakat pemilik tanah sebelum dialihkan hak atas tanah kepada pemerintah. Sebagaimana disampaikan dalam tahrir.or.id dimana ganti rugi benar-benar berpotensi merugikan pemilik lahan. Bila pemerintah berkilah bahwa UU Pengadaan Lahan ini dapat melindungi lahan miliki warga, hal yang sebaliknya justru dapat terjadi. Dengan UU ini pemerintah dapat mengambil alih lahan warga secara ‘paksa’, karena UU ini mengikat dan menuntut siapa saja yang tidak mau melepas tanahnya. Selain paket perundang undangan yang berpotensi tidak adil disisi lain tidak transparansinya aparat pemerintah dalam melakukan pembayaran ganti rugi kepada pihak yang berhak maupun prosedural adat yang dijaga dan lestari sampai saat ini.
3.2.1 Perjuangan Masyarakat Adat dalam Gerakan Amtufu Bangkit (GAB)
Gerakan Amtufu Bangkit (GAB) merupakan jawaban dari dilema masyarakat Amtufu atas ketidak puasan mereka selama ini terkait masalah ganti kerugian tanah dan tanaman tanah adat amtufu yang menurut mereka jauh dari keberpihakan terhadap masyarakat setempat. Awalnya masyarakat adat setemat berjuang secara parsial atau marga/soa saja namun niat ini terkandas akibat tidak adanya penyelesaian masalah oleh pemangku kepentingan.
Gerakan Amtufu bangkit berdiri (GAB) diketuai oleh Drs. Yos Malindar, M.Si merupakan hasil musyawarah masyarakat desa Tumbur dan Lorulung pada tanggal 13 Oktober 2013 di desa Lorulung. Dimana para pengurus dan anggota yang terdiri dari seluruh keterwakilan masyarakat yakni unsur pemerintah desa, tua-tua adat, tokoh agama, pemuda, masyarakat dan tokoh pendidik yang berdominsili di kedua desa tersebut maupun sejumlah putera desa terbaik yang berada diluar daerah yaitu yang menetap di Saumlaki, Tual, Ambon, Merauke, Sorong, Jayapura, Jakarta dan di Belanda. Organisasi ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Desa Lorulung Nomor 140/271/2013 tentang Pembentukan Lembaga Gerakan Amtufu Bangkit.
Adapun beberapa tuntutan lembaga GAB kepada pemerintah daerah antara lain adalah :
-    Pihak lembaga GAB menginginkan secapatnya pemerintah daerah meresponi ganti kerugian masyarakat yang masih tersisa dari tahun 2003 silam. Disisi lain dalam konferensi pers Mathias Malaka selaku Sekretaris Daerah Maluku Tenggara Barat menegaskan bahwa pihak pemerintah daerah tetap meresponi kepentingan masyarakat Amtufu yang belum mendapatkan haknya namun sebelum itu perlu adanya menyelesaian konflik internal atas klaim hak milik marga/soa karena pemerintah daerah tidak akan mengambil resiko jika terjadi pembayaran yang salah sasaran.
-          Pajak yang ditanggung pemilik tanah tidak sesuai kesepakatan awal dengan pemerintah daerah. Anggaran ganti kerugian yang dibayar bertahap dari pos APBD Kabupaten Maluku Tenggara Barat berjumlah Rp7.000.000.000,00 telah terealisir sebesar Rp4.600.000.000,00 selisih sisa yang belum dibayarkan sebesar Rp2.400.000.000,00 termasuk pajak. Pemerintah daerah menegaskan bahwa pembayaran tetap pada angka 2000/m2 sebagaimana disepakati dalam kesepakatan bersama masyarakat pemilik petuanan sehingga opini yang berkembang dan menjadi salah satu wacana perjuangan lembaga GAB dapat diantisipasi agar tidak menimbulkan opini negatif masyarakat terhadap pemerintah daerah. Namun disisi lain lembaga GAB berpendapat bahwa pemerintah daerah telah menipu masyarakat karena kesepakatan awal bahwa besaran ganti rugi permeter persegi sebesar Rp2000 tidak termasuk tanggungan pajak oleh masyarakat namun dalam dokumen kesepakatan dicantumkan kewajiban pajak sudah dialokasikan sebesar jumlah anggaran ganti kerugian tersebut.
-          Lembaga GAB mengklaim pemerintah daerah tidak transparan dan melakukan penyerobotan terhadap tanah ulayat mereka diluar yang disepakati sebesar 350 hektar sesuai perjanjian dimana mapping location berbentuk “senjata” namun kondisi sekarang sudah berubah menjadi persegi panjang sehingga tuntutan lembaga GAB agar perlu ditinjau ulang dilapangan melalui pengukuran kembali.v

Dalam gerakan lembaga ini diarahkan untuk melakukan tuntutan terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat pemilik tanah ulayat tersebut. Alhasil dari itu hingga saat ini pemerintah khususnya kementrian perhubungan belum menerima hibah kepemilikan lahan secara sepenuhnya dari pemerintah daerah.


3.4   Memaknai Tanah Ulayat saat ini
Dalam hal pengalihan hak atas tanah untuk pembangunan bandara Mathilda Batlayeri Saumlaki dimaknai bahwa Oleh masyarakat setempat hak ulayat merupakan tanah yang diwariskan olah leluhur kepada anak cucunya yang dimiliki melalui perjuangan panjang untuk mendapatkan tanah tersebut sebagai hak milik. Penguasaan tanah tersebut dulunya melalui perang antar kampung sehingga nampak di kepulauan tanimbar dominan kampung tua (kampung lama) berada di atas bukit untuk menghindar dari serangan musuh. Masyarakat adat Amtufu masih menghargai warisan leluhur mereka meskipun ada beberapa pihak yang secara sepihak telah mensertifikasi sebidang tanah sebagai hak milik namun secara khusus tanah untuk lokasi bandara didominasi oleh tanah ulayat. Masyarakat mengakui bahwa uang ganti kerugian hanya untuk orang perorang atau keluarga yang memiliki tanaman pada suatu lahan sedangkan tanah merupakan hak adat yang akan dibagi secara proporsional untuk desa, marga/soa dan masyarakatnya.  
Proses pengalihan hak atas tanah ulayat Amtufu melalui ganti rugi mengakibatkan tanah ulayat semakin sempit dan terbatas. Menurut Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang menegaskan bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat tidak dapat lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang sudah dipunyai perorangan atau Badan Hukum dengan suatu hak atas tanag menurut UUPA dan merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh oleh instansi pemerintah, bidang hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku (Syahmunir, 2000) dengan demikian warga setempat tidak akan menerima hasil apapapun lagi dari tanah tersebut setelah dilepaskan kepada pemerintah yang otomatis akan dikuatkan dengan peraturan perundangan yang mengatur tentang hak milik.

3.5 Kebijakan relefanPemerintah Daerah
Untuk menyelesaikan tugas pemerintah daerah yang masih tertunda sejak tahun 2003 hingga saat ini dan menghindari konflik dengan masyarakat Amtufu, maka pemerintah perlu secepatnya melakukan pembayaran ganti kerugian dengan mengacu pada surat keputusan bersama antara pemerintah daerah dengan masyarakat adat Amtufu; dan secara transparansi melayani permintaan masyarakat adat Antufu sehingga status tanah lokasi bandara Mathilda Batlayeri dapat dilakukan pengalihan hak atas tanah dan hibah seutuhnya kepada pihak Kementrian Perhubungan Republik Indonesia. Sebagaimana Chariul Humam Kepala Kantor Unit Penyelenggara Bandar Udara (KUPBU) Mathilda Batlayeri surat kabar online dhara post (21/10/2015) menyampaikan bahwa status bandara Mathilda Batlayeri belum sepenuhnya menjadi hak milik Kementrian Perhubungan RI sehingga belum diserah terimakan. Mengingat pengadaan tanah untuk bandara merupakan pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012 dan Pepres No. 71 Tahun 2012, maka pemerintah daerah telah menyanggupi untuk membayar sisa anggaran ganti kerugian yang belum dibayarkan dalam tahun 2016 ini dari pos APBD Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

3.5  Ganti rugi yang adil dan Pendekatan Penilaian Tanah
Hak atas tanah harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya, sehingga bermanfaat bagi pemegang hak dan masyarakat yaitu adanya keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum, dan bahwa kepentingan perseorangan tersebut diakui dan dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Namun dalam pelaksanaannya sering kali tidak mudah untuk menentukan keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum.
Ganti rugi merupakan upaya mewujudkan penghormatan kepada hak-hak dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum, dapat disebut adil apabila hak tersebut tidak membuat seseorang menjadi lebih kaya atau menjadi lebih miskin dari kondisi sebelumnya. Bahwa Pengadaan tanah untuk pelaksanaan pembangunan demi kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah penetapan ganti kerugian  dengan tujuan memperoleh kesepakatan mengenai pelaksanaan pembangunan di lokasi yang ditentukan, beserta bentuk dan besar ganti kerugian.
Pembebasan tanah perlu dilakukan gantu kerugian oleh pemerintah, ganti rugi akan dibayar kepada pemilik lahan apabila tanah dibebaskan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut Budi Harjanto dan Wahyu Hidayati (2015:15) untuk mendapatkan ganti rugi yang adil kedua belah pihak, maka harus mengikuti prinsip-prinsip betterment yaitu suatu prinsip yang menerangkan pada pemberian kompensansi yang tidak menguntungkan dan tidak merugikan kepada kedua belah pihak, oleh karena itu peranan penilai diperlukan. Peranan penilai dengan kapasitas yang bebas (tidak berpihak) sehingga memperoleh nilai yang adil.
Kemudian proses musyawarah yang dilakukan oleh panitia pembebasan tanah dan pemegang hak ditujukan untuk memastikan bahwa pemegang hak memperoleh ganti kerugian yang layak terhadap tanahnya. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pasal 36 mengamanatkan bahwa Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk :
a.      uang;
b.     tanah pengganti;
c.      permukiman kembali;
d.     kepemilikan saham;
e.      atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak
Faktor penunjang keberhasilan dalam pengadaan tanah, baik oleh pihak swasta maupun pihak pemerintah yang memerlukan pengadaan tanah tersebut adalah keahlian dalam memperoleh informasi mengenai kondisi psikologis dari pemegang hak, latar belakang dan nilai historikal tanah tersebut agar dapat melakukan pendekatan serta memperhitungkan ganti kerugian yang sesuai dan wajar kepada para pemegang hak yang bersangkutan.
Ganti Kerugian adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Penilai Pertanahan atau Penilai merupakan orang perseorangan yang melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapat izin praktik penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga Pertanahan untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah. Penilaian untuk keperluan ganti kerugian meliputi:Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai dilakukan bidang per bidang tanah, meliputi:
a. tanah;
b. ruang atas tanah dan bawah tanah;
c. bangunan;
d. tanaman;
e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
f. kerugian lain yang dapat dinilai.

Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh penilai merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum degan besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai yang disampaikan kepada Lembaga Pertanahan dengan berita acara. Nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai kemudian menjadi dasar musyawarah penetapan Ganti Kerugian.
Pendekatan dan metode penilaian yang sesuai untuk digunakan tergantung kepada pertimbangan seperti, dasar nilai dan tujuan penilaian, tersedianya informasi dan data serta metode yang diterapkan oleh para pelaku dalam pasar yang relevan.Tujuan penilaian seperti yang dimaksud oleh SPI 306 untuk pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, dimana objek penilaian dimaksud akan diganti rugi mencakup kerugian fisik dan kerugian non fisik.
1) Tanah; dengan peruntukan seperti pertanian, permukiman, industri atau komersial;
2)    Ruang atas tanah dan bawah tanah; (lihat Hak Guna Ruang Atas Tanah meliputi hak atas permukaan bumi tempat pondasi bangunan dan hak untuk menguasai ruang udara seluas bangunan tersebut serta hak kepemilikan bangunan, dan Hak Guna Ruang Bawah Tanah meliputi hak atas permukaan bumi yang merupakan pintu masuk/keluar tubuh bumi dan hak membangun dan memakai ruang dalam tubuh bumi, serta hak milik atas bangunan yang berbentuk ruang dalam tubuh bumi)
Objek penilaian dalam penentuan kerugian fisik meliputi :
-       Bangunan; dapat terdiri bangunan residensial, industri, komersil
- Tanaman; dapat terdiri dari tanaman semusim, hortikultura atau tanamankeras/tahunan
-    Benda yang berkaitan dengan tanah; seperti utilitas dan sarana pelengkap bangunan.



3.4  Kebijakan Nasional Jangka Menengah

Dalam Rencana Strategis Kementerian Perhubungan Tahun 2015-2019 (2015) disusun sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, maka rehabilitasi dan pengembangan Bandar Udara (perpanjangan, pelebaran dan peningkatan kekuatan, pekerjaan tanah) untuk didarati B-737 Series pada lokasi yang akan ditetapkan sesuai kebutuhan berdasarkan Tatanan Kebandarudaraan Nasional dan pelaksanaan Undang-Undang lain termasuk adalah kebijakan prioritas Kementrian Perhubungan dalam bidang Transportasi Udara dan bandara Matilda Batlayeri Saumlaki merupakan objek rencana strategis nasional yang akan dikembangkan dalam 5 (lima) tahun kedepan sebagaimana prioritas jangka menengah kementrian. Rencana strategis tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri Perhubungan tentang Rencana Strategis Kementerian Perhubungan Tahun 2015 – 2019, yang akan menjadi pedoman bagi Kementerian Perhubungan dalam melaksanakan kebijakan dan program Pemerintah di sektor transportasi. Renstra Kementerian Perhubungan Tahun 2015–2019 disusun dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan nasional khususnya di sektor transportasi serta untuk menjadi arah dan pedoman pelaksanaan penyelenggaraan perhubungan bagi seluruh unit kerja dan stakeholder sektor transportasi.Dengan demikian dalam peningkatan kapasitas bandara maka sudah tentu penyediaan tanah merupakan faktor utama untuk merealisir kebijakan nasional tersebut. Maka pemerintah daerah saat ini harus benar-benar arif dan bijaksana mengatur dan menyelesaikan terlebih dahulu permasalahan tanah yang sejak tahun 2003 silam yang hingga saat ini belum adanya pengalihan status tanah kepada pemerintah sehingga apabila dalam pengembangannya perlu diadakan pengadaan tanah maka pemerintah tidak akan mendapat hambatan berarti dengan masyarakat pemilik tanah.

 IV PENUTUP
3.5  Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat disampaikan kesimpulannya adalah :
-          Tanah ulayat masyarakat adat Amtufu merupakan sumber daya terbatas, memiliki jumlah yang selalu mengalami penurunan fungsi pertanian sebagai akibat dari dialihfungsikan untuk pembangunan bandara Mathilda Batlayeri;
-          Koordinasi dan transparansi belum diterapkan secara baik sehingga muncul kesalapahaman dan kecurigaan tentang pembayaran ganti kerugian tanah dan perluasan luas tanah oleh pemerintah daerah diluar 250 hektar yang disepakati untuk pembangunan bandara Mathilda Batlayeri;
-          Pengalihan Hak atas Tanah dari pemerintah daerah Kabupaten Maluku Tenggara Barat kepada Kementrian Perhubungan belum terealisir karena sampai saat ini belum memenuhi kriteria dan prosedur yang diamanatkan dalam peraturan perundang undangan yang berlaku.

3.6  Saran Tindak
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran tindak yang disampaikan adalah :
-          Meningkatkan transparansi yang digagas oleh pemerintah daerah melalui dialog secara berkala dengan masyarakat untuk menyelesaikan sisa anggaran yang wajib dibayarkan kepada masyarakat;
-          Mengatasi perbedaan persepsi dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah tentang tanggungan pajak pengadaan tanah dengan tetap mengacu pada aturan perundang-undangan yang berlaku;
-          Melakukan peninjauan langsung yang menghadirkan semua pihak yang berkepentingan untuk memastikan apakah ada unsur kesengajaan dari pemerintah untuk melakukan penyerobotan lahan atau tidak.
-          Penentuan nilai tanah dan tanaman serta bangunan lain diatas tanah perlu menggunakan jasa penilai sebagaimana amanat UU 2 Tahun 2012. Penilaian tersebut dengan berbagai pendekatan dapat menghasilkan nilai wajar dan sesuai dengan kondisi dan karakteristik tanah saat itu dan menjadi rujukan untuk musyawarah antara pemerintah daerah dan masyarakat pemilik tanah.

 DAFTAR PUSTAKA
1.    Buku Teks
-          Abdurrahman. (1991). Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti;
-          G.Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, AG.Kartasapoetra, A. Setiady, Hukum Tanah, Jaminan Undang- Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah,(Jakarta: Bina aksara, 1985)
-          Irawan, Iwan (2014) Jurnal. Studi Kasus Pembebasan Tanah Dalam Proyek Normalisasi Waduk Pluit Ditinjau Dari Perspektif Hukum Agrarian;
-          Koritelu, Paulus. Dkk. (2002). Kajian Komunitas Adat Terpencil (KAT), kerjasama Dinas; Sosial tingkat I dengan Lembaga Penelitian Univ.Pattimura Ambon.
-          Mahmud, P. (2005). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup;
-          Maria S.W Sumardjono,Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial dan budaya, PenerbitBuku Kompas, Jakarta, 2008, Hal. 293;
-          --------------, (2001) Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan ImplementasiJakarta : Penerbit Buku Kompas;
-          Reksohadiprodjo, Sukanto dan Karseno, A. R. (1994) Perekonomian Perkotaan. Jogjakarta. BPFE.
-          Soekanto, S. (1986). Pengantar Penelitian Hukum. Cetakan ke-3. Jakarta: UI Press;
-          Soesangobeng, Herman, 2000. Pendaftaran Tanah Ulayat di Sumatera Barat dengan Contoh Pilot Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo Jangko Kecamatan Lintau Buo Kabupaten Tanah Datar dalam himpuan Makalah dan Rumusan Workshop Tanah Ulayat.
-          Soetiknjo Iman (1994) Politik Agraria Nasional. Jogjakarta. Gadjah Mada University Press;
-          Sudaryo Soimin,Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 1993;
-          Wahid Yunus (2014) Pengantar Hukum Tata Ruang. Jakarta. Kencana.


2.    Makalah/Artikel/Karya Ilmian
-          Baihaqi (2014) Landasan Yuridis Terhadap Aturan Hukum Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Jurnal Ilmiah Peuradeun, International Multidisciplinary Journal);
-          Hidayati, Wahyu, dan Harjanto, Budi, 2015, Konsep Dasar Penilaian Properti, BPFE, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
-          Muhammad Bakri (2006) Pembatasan Hak Menguasai Tanah Oleh Negara Dalam Hubungannya dengan hak Ulayat dan Hak Perorangan Atas Tanah (Ringkasan Disertasi), (Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga);
-          Rosalina, Eksistensi Hak Ulayat Jurnal Sasi Vol.16. No.3 Bulan Juli - September 2010;
-          Syafrudin Kalo (2004) Reformasi Peraturan Dan Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Makalah - Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara)
-          Syafrudin Kalo, Reformasi Peraturan Dan Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Makalah - Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara. 2004);
3.    Peraturan Perundang-Undangan
-        -  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
-        -  Undang-undang No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; 
   - Peraturan Presiden No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Dalam Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
-        -   Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
-     - Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang   Pedoman Penyelesaian Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
-        -  Keputusan menteri perhubungan Nomor kp. 430 tahun 2015 Tentang Rencana strategis Kementerian perhubungan Tahun 2015-2019.
-        -   KEPI & SPI Edisi IV – 2015.

4.    Media Online
     
     -  Academia.edu/7512832/makalah_pendaftaran_dan_peralihan_hak_atas_tanah_oleh_ananda_hazti_
   karman_p3600213058_program_pascasarjana_kenotariatan_fakultas_hukum_universitas_hasanuddin_ makassar_2014
-       -  Ambonekspres.fajar.co.id/2015/07/28/masyarakat-ancam-tutup-bandara
-          - Dharapos.com/2015/09/pengembangan-bandara-saumlaki.html
-          ----------------/2015/08/bantah-pernyataan-sekda-mtb-manunwembun.html
-          ----------------/2015/08/waktu-dekat-ganti-rugi-lahan-bandara.html
-      -  Hizbut-tahrir.or.id/2012/01/04/uu-pengadaan-lahan-cara-konstitusionil-merampas-lahan-warga-kritik-dan-pandangan-komprehensif-syariah-syariah-islam-tentang-lahan
-          Kompasiana.com/npreressy/duan-lolat-sebuah-kearifan local;
-         -  Malukupost.com/2015/08/terkait-masalah-ganti-rugi-lahan.html
-        -  Sciencebooth.com/2013/05/27/pengertian-prestasi-dan-wanprestasi-dalam-hukum-kontrak












Komentar

Postingan Populer