Antisipasi Variance Pengangaran melalui Identifikasi Risiko Fiskal Daerah
Antisipasi Variance Pengangaran melalui
Identifikasi Risiko Fiskal Daerah
Disusun Oleh: L. Erwin Layan*
Pemerintahan di seluruh dunia
pada dasarnya selalu menghadapi berbagai kondisi ketidakpastian dan risiko
fiskal. Risiko dikaitkan dengan kemungkinan kejadian atau keadaan yang dapat
mengancam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Risiko yang terjadi dapat
disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kejadian alam, operasional,
manusia, politik, teknologi, pegawai, keuangan, hukum, dan manajemen dari
organisasi. Risiko fiskal dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketidakpastian
peristiwa-peristiwa (events) yang
terjadi dimasa datang yang dapat mempengaruhi posisi dan pelaksanaan fiskal
pemerintah, yang dinyatakan dalam dokumen APBN dan APBD dengan
komponen-komponen berupa pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Dalam hal ini,
risiko diartikan sebagai hal-hal yang mempengaruhi keakurasian Pemerintah dalam
menentukan target-target anggaran. The Budgeting Responsibility Law (BRL) yang
diterapkan di Brazil mendefinisikan dua risiko penganggaran (budgetary risks), yakni (1) penentuan
pendapatan yang terlalu tinggi (overestimation of revenues) dan (2) penentuan belanja terlalu rendah (underestimation of
expenditure). Menurut Brixi et.al (2002),
risiko cenderung diestimasi terlalu rendah (underestimated)
ketika anggaran disusun, sehingga costs
yang sebenarnya hanya bisa diketahui belakangan ketika sudah terlambat untuk
mengatasinya. Ditinjau dari sisi pengelolaan fiskal, bukti-bukti empiris menunjukkan
bahwa posisi fiskal pemerintah selalu dibayangi potensi terjadinya risiko
fiskal yang mengancam kesinambungan anggaran akibat adanya contingent liabilities dan berbagai macam risiko fiskal yang tidak
diantisipasi sebelumnya. Isu mengenai adanya kewajiban contingent liabilities atau kewajiban kontingensi merupakan bagian
integral dari isu-isu risiko fiskal yang dihadapi oleh pemerintah.
Risiko
fiskal merupakan kondisi yang patut diperhitungkan, dianalisis dan diantisipasi
melalui berbagai kebijakan dan strategi agar dalam jangka pendek maupun jangka
panjang kebijakan fiskal dapat berjalan dengan maksimal. Sebagaimana disampaikan didalam Nota Keuangan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (NK-RAPBN) melalui NK-RAPBN
ini pemerintah mengarahkan seluruh stakeholder
untuk meningkatkan kesadaran dan kecermatan dalam pengelolaan kebijakan fiskal.
Pengungkapan risiko fiskal ini terutama diarahkan tujuan keterbukaan (transparency)
dan kesinambungan (sustainability) fiskal. Sebagaimana NK-RAPBNP Tahun Anggaran 2018,
pada Bagian III pemerintah menjelaskan tentang Risiko Fiskal dan kebijakan
strategis dalam penanganannya, diamana pemulihan kinerja ekonomi global masih belum optimal
sehingga tekanan negatif di pasar keuangan global yang memengaruhi hampir
seluruh negara di dunia, terutama di negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia tetap perlu diwaspadai. Kondisi perekonomian global tersebut mempengaruhi perekonomian domestik yang selanjutnya
berdampak terhadap APBN salah satunya di sisi penerimaan negara sehingga
meningkatkan potensi risiko tidak tercapainya target penerimaan negara.
Demikian halnya perubahan indikator-indikator ekonomi makro yang mendasari
penetapan asumsi dasar ekonomi makro. Indikator-indikator tersebut akan
memengaruhi besaran target pendapatan negara, alokasi belanja negara, dan
pembiayaan anggaran. Deviasi target pendapatan negara atau anggaran belanja
negara dengan realisasinya akibat dari perubahan pada indikator ekonomi makro
akan menimbulkan risiko fiskal.
Ambil misal pada 16 Agustus 2017 lalu, Nota Keuangan
dan RAPBN Tahun Anggaran 2018 telah diajukan oleh pemerintah kepada DPR RI.
Dengan asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, inflasi 3,5 persen, nilai
tukar Rp 13.500, dan suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tenor tiga
bulan 5,3 persen. Asumsi lain adalah harga minyak US$ 48 per barel serta
produksi minyak dan gas masing-masing 800 ribu dan 1,2 juta barel per hari. Menurut banyak pengamat dan analis asumsi makro tersebut
tidak ekspansif secara signifikan dalam APBN. Dari Pendapatan negara,
yang ditetapkan Rp 1.878,45 triliun, secara terukur dipakai untuk membiayai
belanja Rp 2.204,37 triliun, yang naik hanya 3,3 persen dari APBN-P 2017. Defisit
yang diusulkan sebesar Rp 325,93 triliun atau 2,19 persen atas produk domestik
bruto (PDB). Dengan demikian dalam pembahasan APBN
tentunya pemerintah dan legislatif perlu mengidentifikasi dan membatasi diri
terhadap segala faktor yang dapat meyebabkan risiko fiskal nasional. Penting untuk
pemerintah
mengalokasikan dana cadangan risiko asumsi dasar ekonomi makro. Dana cadangan
tersebut, berfungsi sebagai bantalan (cushion) untuk mengurangi besaran defisit
APBN.
Dalam penganggaran daerah melalui Nota Keuangan RAPBD pemerintah daerah
menjelaskan kebijakan dan strategi jangka pendek yang dapat ditempuh oleh
daerah, dengan tetap memperhatikan risiko fiskal yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Kondisi ini kemudian mengerucut
pada kebijakan dan arahan nasional agar daerah tidak menyimpang dan mendukung
program-program nasional serta antisipasi anggaran untuk mengatasi berbagai
kemungkinan yang terjadi di daerah yang berakibat pada inkonsikuensi anggaran. Salah satu sorotan yang sangat penting dalam pelaksanaan otonomi daerah
adalah pengelolaan keuangan daerah. Fungsi APBD sebagai alat fiskal utama di daerah mempunyai peran yang cukup
kuat dalam menunjang pertumbuhan ekonomi di daerah yang pada akhirnya bermuara
kepada pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai dokumen
perencanaan, tentu saja dalam pelaksanaannya APBN dan APBD akan menghadapi
berbagai ketidakpastian. Risiko fiskal dapat diartikan sebagai suatu kondisi
ketidakpastian peristiwa-peristiwa (events)
yang terjadi dimasa datang yang dapat mempengaruhi posisi dan pelaksanaan
fiskal pemerintah, yang dinyatakan dalam dokumen APBN dan APBD. Dengan demikian,
risiko fiskal atau anggaran akan mempengaruhi keakurasian Pemerintah dalam
menentukan target-target anggaran.
Dalam penerapannya
penganggaran di daerah masih banyak menggunakan pendekatan
anggaran konvensional. (Brixi et.al 2002: 32). Sistem akuntansi tradisional
yang digunakan oleh banyak negara selain memiliki berbagai kelebihan, tapi
secara inherent memiliki kekurangan
dalam mengukur kegiatan fiskal. Permasalahannya, kegiatan fiskal seringkali
diukur dengan cara yang tidak tepat dan reliabil. Hal ini bisa menyebabkan
kerentanan fiskal (fiscal vulnerability)
yaitu suatu kondisi dimana pemerintah mengalami kegagalan dalam
mengkoordinasikan tujuan kebijakan fiskal secara keseluruhan (Brixi et.al
(2002). Pasca diterbitkannya paket
regulasi yang bertolak dari UU 17/2003 mestinya merubah total paradigma lama
dimana anggaran sebagai kebutuhan konsumtif yang diserap habis dengan
menyampingkan produktifitas proyek/kegiatan tersebut harus benar-benar telah
ditinggalkan, namun kondisi ini masih jauh dari yang dicita-citakan dalam
reformasi anggaran.
Persoalan lain adalah
pemerintah daerah pada umumnya belum mampu mengungkap dan memasukkan analisis risiko secara spesifik
dalam penganggaran daerah dan laporan anggarannya, dalam pelaksanaan anggaran masih banyaknya
daya serap anggaran yang rendah dan terjadinya ketidakakurasian dalam penentuan
besaran alokasi anggaran belanja sesuai dengan target kinerja yang hendak
dicapai, terutama alokasi belanja modal dan barang/jasa sehingga berimplikasi
pada besarnya perubahan anggaran dan variance
dalam realisasinya. Dengan pengelolaan keuangan daerah dan penganggaran yang
baik hal tersebut bisa diminimalisir. Semua hal tersebut tidak terlepas dari
peran para aparatur daerah yang terlibat dalam penganggaran daerah baik sebagai
pengusul, perencana maupun sebagai pembuat kebijakan anggaran.
Dengan
demikian sangat penting
bagi pemangku kepentingan mengidentifikasi kondisi keuangan daerah dalam setiap
periode anggaran melalui perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
pertanggungjawaban anggaran secara sistematis sebagaimana diamanatkan dalam
peraturan perundangan yang berlaku. Beberapa faktor yang
merupakan isu utama yang perlu diangkat dalam praktik perencanaan keuangan
daerah dan sering
tidak sejalan dengan pelaksanaan anggaran adalah faktor regulasi dan mekanisme penyusunan
anggaran harusnya berpedoman pada siklus anggaran, konsistensi, sinkronisasi
dan penganggaran sistimatis terhadap regulasi, plafon anggaran, siklus anggaran
dan standarisasi satuan harga. Faktor informasi dan komunikasi berupa informasi
lengkap penyusunan APBD tentang pedoman penyusunan APBD dan distribisi arahan
pimpinan daerah terkait kegiatan strategis daerah sering tidak tepat sasaran
sesuai implementasinya. Faktor politik mencakup inkonsistensi RAPBD dengan KUA
PPAS, Rasionalisasi Anggaran SKPD oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD)
dan Badan Anggaran Legialatif, serta arahan tertentu pimpinan daerah maupun
pimpinan SKPD untuk menampung kegiatan diluar mekanisme menjadi praktek yang sering terjadi. Konsekuensi
yang muncul adalah penganggaran publik menjadi adu kekuatan relatif antara
pihak-pihak yang terlibat dalam penganggaran dimana semua pihak memiliki
kepentingan yang berbeda terhadap outcome anggaran. Von Hagen et al (1996) menyebutkan penganggaran di
sektor publik merupakan suatu bargaining
process antara eksekutif dan legislatif (lihat Abdullah dan Asmara, 2006:5)
Faktor opportunistik dan moral hazard di mana penentuan kegiatan
SKPD tergantung kepala SKPD tanpa adanya suatu kajian strategis, adanya titipan
kepentingan pribadi dan golongan eksekutif dalam APBD serta kompensasi ilegal
TAPD dalam pengamanan kegiatan dan anggaran mesti dihindari oleh setiap daerah. Faktor
ekspektasi risiko di mana perubahan harga di masa mendatang perlu dianalisis
secara cermat, mark up anggaran untuk
mengantisipasi perubahan harga, tingkat realisasi belanja minim, relefansi regulasi
standarisai harga, kebijakan belanja SKPD/Unit kerja diluar anggaran maupun
adanya penjadwalan ulang kegiatan/penghapusan kegiatan. Hasil
penelitian Abdullah dan Asmara (2006) menunjukkan bahwa (1) legislatif sebagai
agen dari voters berperilaku opportunistik
dalam penyusunan APBD, (2) besaran PAD berpengaruh terhadap perilaku opportunistik
legislatif, dan (3) APBD digunakan sebagai sarana untuk melakukan political corruption. Halim dan Abdullah (2008:1) mengatakan Eksekutif merupakan
agen bagi legislatif dan publik (dual
accountability) dan legislatif agen bagi publik. Konsep perwakilan (representativeness) dalam penganggaran
tidak sepenuhnya berjalan ketika kepentingan publik tidak terbela seluruhnya
oleh karena adanya perilaku opportunistik (moral
hazard) legislatif. Di sisi lain,
eksekutif sebagai agen cenderung menjadi budget
maximizer karena berperilaku opportunistik (adverse selecation dan moral
hazard sekaligus).
Transparansi sebagai salah
satu komponen penting dalam pengelolaan keuangan negara dan daerah menuntut
adanya pengungkapan informasi dan semua hal yang dianggap penting untuk
diketahui publik khususnya risiko fiskal dalam proses perencanaan keuangan atau
penganggaran pemerintah. Pemahaman terhadap risiko menjadi keniscayaan untuk
dapat menentukan prioritas strategi dan program dalam pencapaian tujuan
organisasi. Pengungkapan risiko fiskal yang merupakan prasyarat penting untuk
menjaga terpeliharanya kesinambungan pendapatan negara, belanja negara dan
pembiayaan anggaran dipandang perlu untuk memenuhi tuntutan transparansi
tersebut.
Dengan
demikian terhadap ulasan diatas, maka dalam penataan anggaran Perlu adanya komitmen dan
konsistensi bersama antara pemerintah daerah dan legislatif, untuk mengidentifikasi risiko fiskal dalam penganggaran daerah
dengan lebih menekankan pada evaluasi perencanaan anggaran sejauhmana kinerja
pihak eksekutif dan legislatif dengan cara optimalisasi pemahaman tentang
aturan dan mekanisme panganggaran, optimalisasi informasi dan komunikasi
politik pemerintah daerah dan pihak legislatif, optimalisasi peran politik
anggaran antara pihak legislatif dan pimpinan daerah/SKPD, menghindari praktik
menyimpang yang opportunis dan moral
hazard DPRD, Pimpinan Daerah dan Pimpinan SKPD, dan perlu dianalisis dan
diantisipasi ekspektasi risiko secara makro, potensi pendapatan dan efisiensi
dan efektifikas belanja dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA). Selain itu Pihak eksekutif bersama legislatif lebih cermat
dan disiplin dalam penetapan anggaran daerah sehingga keterlambatan
penyusunan APBD bisa diantisipasi. Untuk itu perlu adanya reward dan
punishment dalam pengelolaan keuangan daerah. Reward diberikan
untuk kinerja anggaran yang disusun tepat waktu, efektif, efisien,
akuntabel dan transparan serta mampu memberikan pelayanan yang optimal
bagi kepentingan publik. Punishment dengan sanksi hukum yang keras
diberikan pada segala bentuk keterlambatan penyusunan dan penyimpangan
dalam APBD baik penyimpangan pengelolaan administrasi keuangan,
penyimpangan dalam pengadaan aset/barang maupun ketidakdisiplinan dan
ketidakpatuhan aparatur pelaksana APBD beserta pihak-pihak terkait dalam
menjalankan tugas dan fungsinya.
DPRD dan Pemerintah Daerah harus bermitra dalam menerapkan manajemen risiko,
melakukan penjaminan proyek yang dijamin dengan regulasi khusus dan panduan
pengelolaan risiko bagi institusi publik dalam mengambil kebijakan yang
berpotensi risiko. Panduan tersebut harus dapat memperjelas prosedur pengusulan
kebijakan, pemberian tanggung jawab yang jelas antara institusi terlibat,
bentuk jaminan, risk sharing, prosedur monitoring serta skema proteksi
yang dapat melindungi instiusi yang terlibat dari kerugian yang mungkin timbul.
Referensi
Abdullah, Syukriy. 2004. Perilaku opportunistik
legislatif dalam penganggaran daerah: Pendekatan principal-agent theory.
Makalah disajikan pada Seminar Antarbangsa di Universitas Bengkulu, Bengkulu,
4-5 Oktober 2004.
Abdullah, Syukriy, 2009, “Risiko Fiskal
dan Transparansi Anggaran Daerah”, Sumber: http://syukriy.wordpress.com diunduh tanggal 9 Agustus 2009.
Abdullah, Asmara Jhon Andra, 2006,
“Perilaku Opportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah: Bukti Empiris Atas Aplikasi Agency Theory di Sektor
Publik”, Simposium Nasional Akuntansi Padang, 23-26 Agustus 2006. Sumber: http://swamandiri.org/2008/ 02/10/perilaku-opportunistik-legislatif-dalam
penganggaran daerah buktiempiris-atas-aplikasi-agency-theory-di-sektor-publik.
Ampri, Irfa, 2006, “Manajemen Risiko di
Lingkungan Pemerintah: Pengantar Aplikasi pada Unit-unit Departemen Keuangan” Jurnal Akuntansi Pemerintah. Vol. 2, No. 1 Hal 79-91, Mei
2006. Sumber: www.bppk. go.id, diunduh 5 september 2009.
Andvig, Jens Chr., Odd-Helge Fjeldstad, Inge Amundsen,
Tone Sissener & Tina Søreide. 2001. Corruption A Review of Contemporary
Research. Chr. Michelsen Institute Development Studies and Human Rights Report
R 2001: 7. Web: http//www.cmi.no.
Freeman, et. al (2003), Governmental
and Nonprofit Accounting¬Theory and Practice. Seventh edition. Upper Saddle
River, NJ: Prentice Hall.
Gilardi, Fabrizio. 2001. Principal-agent models go to
Europe: Independent regulatory agencies as ultimate step of delegation. Paper
presented at the ECPR General Conference, Canterbury (UK), 6-8 September 2001.
Halim, Abdulah, 2008,
“Hubungan dan Masalah Keagenan di Pemerintahan Daerah: Sebuah Peluang
Penelitian Anggaran dan Akuntansi”, Sumber: http://www.bppk.depkeu.go.id/index.php/2008050879/jurnal-akuntansi-pemerintah/hubungan-dan-masalah-keagenan-di-pemerintahan
daerah. html diunduh tanggal
27 Mei 2012.
Hanafi, Mamduh M, 2006, Manajemen Risiko, UP STIM YKPN, Jogjakarta.
Johnson, Cathy Marie. 1994. The Dynamics of Conflict
between Bureaucrats and Legislators. Armonk, New York: M.E. Sharpe.
Keefer, Philip & Stuti Khemani. 2003. The political
economy of public expenditures. Background paper for WDR 2004: Making Service
Work for Poor People. The World Bank.
Keller,
Kevin Lane. (2003). Strategic Brand Management: Building, Measuring, and Managing Brand Equity. New Jersey: Prentice Hall.
Kuncoro, Mudrajad. 2003. Metode Riset Untuk Bisnis dan
Ekonomi. Erlangga. Jakarta.
Lupia, Arthur & Mathew McCubbins. 1994. Who
controls? Information and the structure of legislative decision making.
Legislative Studies Quarterly 19(3):361-384.
Ma, Jun, 2002, “Monitoring Fiscal Risk of Subnational
Government: Selected Country Experiences” dalam Brixi dan Schick (ed), 2002. Government at Risk: Contingent Liabilities
and Fiscal Risk, a Copublication of The World Bank and Offord University
Press.
Mardiasmo, 2002, Akuntansi
Sektor Publik, Penerbit Andi, Jogjakarta.
Martin, M.A. Galindo, F. Escribano Sotos, Maria.T. Mendez Picazo, 2007, “Value at Risk
and Growth” Internatinal atlantic economic society, sumber:http://www.springerlink.com/content/r122q20j04679128/fulltext.pdf.
diunduh tanggal 2 Mei 2016.
Martinez-Vazquez, Jorge, F. Javier Arze, & Jameson
Boex. 2004. Corruption, Fiscal Policy, and Fiscal Management.
Moe,
T. M. 1984. The New Economics of Organization. American Journal of Political Science 28(5): 739-777.
Ter-minassian,
Teresa, 2008, “Fiscal Risk-Sources, Disclosure and Management”, Fiscal Affairs Department,
International Monetary Fund, May 21 2008, sumber: http://www.imf.org/external/np/pp/eng/2008/052108.pdf. Iunduh tanggal 12 Mei 2009
Petrie, Murray.
2002. A framework for public sector performance contracting. OECD Journal on
Budgeting.
Ramaswamy, Khrisna, 2002, “Analytical
Techniques Applicable to Government Management of Fiscal Risk” dalam Brixi dan Schick (ed.), 2002. Government at Risk: Contingent
Liabilities and Fiscal Risk, a Copublication of The World Bank and Oxford University Press.
Ross, Stephen A. 1973. The economic theory of agency:
The principal’s problem. American Economic Review 63(2).
Rubin,
Irene S. 2000. The Politics of Public Budgeting: Getting and Spending. Washington DC : CQ Press
Schick, Allen, 2002, “Budgeting for
fiscal Risk” dalam Brixi d.an Schick (ed), 2002. Government at Risk: Contingent Liabilities and Fiscal Risk, a Copublication of The World Bank
and Oxford University Press
Smith, Robert W. &
Mark Bertozzi. 1998. Principals and agents: An explanatory model of public
budgeting. Journal of Public Budgeting, Accounting and Financial Management
(Fall).
Soeratno dan
Arsyad, Lincolin, 2003, Metodologi Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis, Edisi Revisi, Unit Penerbit dan
Percetakan YKPN, Yogyakarta.
Strom, K. 2000.
Delegation and accountability in parliamentary democracies. European Journal of
Political Research 37: 261-289.
Subiyantoro, Heru, 2008, “Adakah persolaan contingent
liabilities dan fiscal risk di Indonesia?: suatu pelajaran yang sangat
berharga” sumber: http://asnugroho.net/papers/herusubiyantoro_221008.pdf
diunduh tanggal 5 Mei 2016.
https://indonesiana.tempo.co/read/115949/2017/08/30/indonesiana/risiko-fiskal-rapbn-2018-haryo-kuncoro
*) Penulis Adalah ASN Pemda MTB, lulusan Magister Keuangan Publik pada MIE UPN Yogyakarta, dan lulusanMagister Manajemen Aset dan Penilaian Properti pada MEP UGM Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar