ANALISIS KETIMPANGAN DAERAH
ANALISIS
KETIMPANGAN DAERAH DENGAN MENGGUNAKAN METODE
INDEKS WILLIAMSON
(STUDI : KOTA AMBON PROVINSI MALUKU)
Letarius Erwin Layan*
ABSTRAK
Tujuan
dari artikel ini adalah mengetahui
berapa besar tingkat ketimpangan pendapatan di kota
Ambon. Jenis data yang digunakan pada penelitian
ini adalah data time series yang merupakan data sekunder yang berasal dari
publikasi Badan Pasat Statistik periode 2016. Analisa
yang diggunakan adalah teknik analisis kualitatif deskriptif dan kuantitatif
dengan menganalisisis permasalahan berdasarkan teori dan alat analisis Indeks Williamson. Hasil analisis menunjukkan bahwa perhitungan
Indeks Wiliamson secara rata-rata sebesar 0,73%. Kondisi ini menunjukkan
tingkat ketimpangan daerah berada pada posisi yang kuat atau memiliki
ketimpangan yang kecil, dalam enam tahun terakhir kota Ambon mampu memberikan
kontribusi Indeks Wiliamson setiap tahunnya >50% artinya
pertumbuhan PDRB kota ambon semakin meningkat dan tidak diikuti dengan
pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Kata Kunci:
Ketimpangan Daerah, Pertumbuhan Penduduk, PDRB, Indeks Williamson.
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kesenjangan ekonomi merupakan kesenjangan
pendapatan, kesenjangan kekayaan,
dan jurang antara kaya dan miskin,
mengacu pada persebaran ukuran ekonomi di antara individu dalam kelompok,
kelompok dalam populasi, atau antarnegara.
Para ekonom umumnya mengakui tiga ukuran kesenjangan ekonomi: kekayaan, pendapatan dan konsumsi. Persoalan kesenjangan ekonomi mencakup kesetaraan ekonomi, kesetaraan pengeluaran, dan kesetaraan kesempatan. Pembangunan
ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga diperlukan
pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan distribusi pendapatan yang lebih merata. Namun realita yang terjadi secara nasional masih terdapat
kendala dalam mewujudkan tujuan tersebut. Ketimpangan pembangunan antar daerah merupakan aspek
yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada
dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam, teknologi dan perbedaan kondisi geografi yang
terdapat pada masing – masing daerah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan
suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena
itu, tidaklah mengherankan bilamana pada setiap daerah biasanya terdapat daerah
maju (Development Region) dan daeah terbelakang (Underdevelopment
Region). Terjadinya ketimpangan antar daerah ini membawa implikasi terhadap
tingkat kesejahteraan masyarakat antar daerah. Karena itu, aspek ketimpangan
pembangunan antar daerah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi
kebijakan pembangunan daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Di negara-negara miskin, perhatian utama lebih terfokus pada dilema kompleks antara pertumbuhan dan distribusi pendapatan, namun keduanya hampir sangat sulit diwujudkan dalam waktu yang bersamaan, pengutamaan yang satu akan menuntun pengorbanan yang lain. Pembangunan ekonomi yang lebih tinggi mensyaratkan penerimaan GNP yang tinggi pula. Namun yang menjadi masalah bukan hanya tingkat GNP yang tinggi, tapi bagimana hasil dari pembangunan ekonomi itu dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat (Todaro, 2000:177). Realitas ini merupakan akibat kebijakan pembangunan ekonomi yang kurang tepat dan bersifat struktural. artinya, kebijakan masa lalu yang begitu menyokong sektor industri dengan mengorbankan sektor lainnya patut untuk direvisi karena telah mendorong munculnya ketimpangan sektoral yang berujung kepada kesenjangan pendapatan. Timbul kesenjangan antara pendapatan dan belanja menyebabkan adanya defisit anggaran yang berkepanjangan. Mark up budget yang irasional merupakan dapak dari tidak konsistensinya decision maker terhadap kebijakan anggaran yang telah disepakati bersama. Kondisi tersebut sudah tentu memperlambat kesejahteraan masyarakat, mulai dari perencanaan yang tidak sistematis, tidak berkesinambungan dan masih jauh dari skala prioritas tidak mungkin akan memutuskan mata rantai kemiskinan. Kondisi ini nampak pada pernyataan Samuelson dan Nordhaus (2005:282) tentang lingkaran setan kemiskinan dimana kemiskinan akan selalu menjadi penyakit kronis dalam suatu negara. Pembangunan yang berhasil akan membutuhkan langkah-langkah untuk memutuskan rantai tersebut. Tentunya dalam mengatasi kondisi diatas sangat dibutuhkan terobosan handal dan berani. “Optimalisasi pendapatan merupakan kunci dari pertumbuhan ekonomi suatu bangsa” karena dengan pendapatan yang tinggi akan sangat berpotensi untuk mengoptimalkan surplus anggaran demi kepentingan menabung dan investasi.
Di negara-negara miskin, perhatian utama lebih terfokus pada dilema kompleks antara pertumbuhan dan distribusi pendapatan, namun keduanya hampir sangat sulit diwujudkan dalam waktu yang bersamaan, pengutamaan yang satu akan menuntun pengorbanan yang lain. Pembangunan ekonomi yang lebih tinggi mensyaratkan penerimaan GNP yang tinggi pula. Namun yang menjadi masalah bukan hanya tingkat GNP yang tinggi, tapi bagimana hasil dari pembangunan ekonomi itu dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat (Todaro, 2000:177). Realitas ini merupakan akibat kebijakan pembangunan ekonomi yang kurang tepat dan bersifat struktural. artinya, kebijakan masa lalu yang begitu menyokong sektor industri dengan mengorbankan sektor lainnya patut untuk direvisi karena telah mendorong munculnya ketimpangan sektoral yang berujung kepada kesenjangan pendapatan. Timbul kesenjangan antara pendapatan dan belanja menyebabkan adanya defisit anggaran yang berkepanjangan. Mark up budget yang irasional merupakan dapak dari tidak konsistensinya decision maker terhadap kebijakan anggaran yang telah disepakati bersama. Kondisi tersebut sudah tentu memperlambat kesejahteraan masyarakat, mulai dari perencanaan yang tidak sistematis, tidak berkesinambungan dan masih jauh dari skala prioritas tidak mungkin akan memutuskan mata rantai kemiskinan. Kondisi ini nampak pada pernyataan Samuelson dan Nordhaus (2005:282) tentang lingkaran setan kemiskinan dimana kemiskinan akan selalu menjadi penyakit kronis dalam suatu negara. Pembangunan yang berhasil akan membutuhkan langkah-langkah untuk memutuskan rantai tersebut. Tentunya dalam mengatasi kondisi diatas sangat dibutuhkan terobosan handal dan berani. “Optimalisasi pendapatan merupakan kunci dari pertumbuhan ekonomi suatu bangsa” karena dengan pendapatan yang tinggi akan sangat berpotensi untuk mengoptimalkan surplus anggaran demi kepentingan menabung dan investasi.
Kondisi ini akan mempermudah pemerintah untuk
menentukan kebijakan prioritas berskala besar dengan terobosan besar dan berani
sehingga produktivis output yang dihasilkan dapat meningkatkan pendapatan dan
menjawab kebutuhan secara berkesinambungan. Namun kondisi yang terjadi selama
ini adalah masih sulitnya memutuskan mata rantai kemiskinan tersebut.
Dipertegas pula oleh Kuncoro (2015:209) bahwa permasalahan kemiskinan yang
cukup kompleks membutuhkan intervensi semua pihak secara bersama-sama dan
terkoordinasi. Namun penanganannya selama ini cenderung parsial dan tidak
berkelanjutan.
Proses pengentasan kemiskinan melalui interfensi APBN/D masih
menyisihkan kelemahan-kelemahan signifikan secara terstruktur dari pusat hingga
ke daerah melalui performance-based
budgeting yaitu untuk melakukan kontrol keuangan dari sekian indikator
masalah keuangan daerah (Sumarsono 2010:159), dengan limpah sumber daya alam di
Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan hasil laut yang melimpah sebagai komuditas
unggulan dan pengembangan wisata bahari merupakan potensi dan peluang besar
untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah setempat. Demikian pula laju
pertumbuhan penduduk yang tinggi dan tidak didukung oleh pendapatan yang tinggi akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kesenjangan daerah.
Gambar 1
Grafik Pertumbuhan Penduduk Provinsi
Maluku
Tahun 2009-2014
Sumber:
Badan Pusat Statistik.
Berdasarkan
tabel diatas terlihat bahwa jumlah Provinsi Maluku semakin bertambah setiap
tahunnya. Pertambahan penduduk ini menimbulkan banyaknya kemiskinan karena
pertambahan penduduk tidak diikuti dengan semakin banyaknya lapangan usaha. Jumlah
penduduk Provinsi Maluku tahun 2009 sampai dengan 2014, mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan dan penurunan tersebut hanya berkisar 1% saja
namun memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan penduduk provinsi
Maluku. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat
ketimpangan kota Ambon, dibutuhkan juga data-data PDRB menurut
lapangan usaha atas dasar harga konstan. Berikut adalah tabel PDRB Maluku menurut
lapangan usaha atas dasar harga konstan:
Gambar 2
Grafik PDRB Provinsi Maluku dan Kota
Ambon
menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga konstan
Tahun 2009-2014 (Juta Rupiah)
Sumber:
Badan Pusat Statistik.
Tabel di atas mencantumkan total PDRB Maluku menurut lapangan usaha atas dasar
harga konstan sebagaimana
data sekunder Badan Pusat Statistik. Secara persentase pertumbuhan PDRB provinsi Maluku
dari tahun ketahun mengalami pertumbuhan yang signifikan. Demikian halnya kota
ambon secara statistik mengalami pertumbuhan yang relatif naik meskipun pada
tahun 2014 mengalami pertumbuhan yang menurun jika dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Artinya kontribusi lapangan usaha kota Ambon masih perlu
ditingkatkan setiap tahunnya. Kontribusi terbesar hanya dicapai pada lapangan
usaha perdagangan, hotel dan restoran kemudian disusul jasa usaha lainnya.
Pertumbuhan ekonomi yang berbeda antar daerah
merupakan hal yang wajar dalam konsep pembangunan nasional. Seoeroso dan
Biarratani dalam Sulistina (2005:2) mengungkapkan perbedaan tingkat pertumbuhan
ekonomi antar daerah telah menarik modal dan tenaga kerja ke daerah yang
memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal ini menyebabkan ketidakstabilan dalam pola
pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia. Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi
di daerah tertentu menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya ketimpangan
pembangunan antar daerah. Pembangunan di daerah yang tinggi kegiatan ekonominya
tinggi, cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pembangunan di daerah
yang tinggi kegiatan ekonominya rendah.
Berdasarkan uraian di atas, artikel ini akan membahas dan menganalisis mengenai pertumbuhan ekonomi dan
ketimpangan daerah pada kota ambon
dengan pendekatan Indeks Williamson.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka masalah yang akan dibahas dalam artikel ini adalah ketimpangan
daerah perlu diukur
agar dapat diketahui tingkat kemandirian daerah sehingga dapat mencari solusi yang tepat sebagai gagasan dalam mewujudkan daerah mandiri.
1.3 Tujuan Penelitian
Artikel ini bertujuan
untuk memenuhi tugas mata kuliah
Perencanaan Pembangunan Daerah serta mengetahui dan menganalisis tingkat
ketimpangan dan kontribusi daerah.
1.4 Manfaat Penelitian
Sebagai masukan bagi pihak yang berkepentingan dalam memecahkan
masalah mengenai pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan regional.
1.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi
Teori-teori pertumbuhan ekonomi yang berkembang antara lain: (Sadono
Sukirno,2006:243-270) Teori Pertumbuhan Klasik, teori ini dipelopori oleh Adam Smith, David
Ricardo, Malthus, dan John Stuart Mill. Menurut teori ini pertumbuhan ekonomi
dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu jumlah penduduk, jumlah barang modal, luas
tanah dan kekayaan alam serta teknologi yang digunakan. Mereka lebih menaruh
perhatiannya pada pengaruh pertambahan penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi.
Mereka asumsikan luas tanah dan kekayaan alam serta teknologi tidak mengalami
perubahan. Teori yang menjelaskan keterkaitan antara pendapatan perkapita dengan
jumlah penduduk disebut dengan teori penduduk optimal. Menurut teori ini, pada
mulanya pertambahan penduduk akan menyebabkan kenaikan pendapatan perkapita.
Namun jika jumlah penduduk terus bertambah maka hukum hasil lebih yang semakin
berkurang akan mempengaruhi fungsi produksi yaitu produksi marginal akan
mengalami penurunan, dan akan membawa pada keadaan pendapatan perkapita sama
dengan produksi marginal. Pada keadaan ini pendapatan perkapita mencapai nilai yang maksimal.
Jumlah penduduk pada waktu itu dinamakan penduduk optimal. Apabila jumlah
penduduk terus meningkat melebihi titik optimal maka pertumbuhan penduduk akan
menyebabkan penurunan nilai pertumbuhan ekonomi.
Teori
pertumbuhan neo-klasik dikembangkan oleh Robert M. Solow (1970) dan T.W. Swan
(1956). Model Solow-Swan menggunakan unsur pertumbuhan penduduk, akumulasi
kapital,kemajuan
teknologi, dan besarnya output yang saling berinteraksi. Solow-Swan
menggunakan model fungsi produksi yang memungkinkan adanya substitusi antara
kapital (K) dan tenaga kerja (L). Dengan demikian, syarat-syarat adanya
pertumbuhan ekonomi yang baik dalam model Solow-Swan kurang restriktif
disebabkan kemungkinan substitusi antara tenaga kerja dan modal. Hal ini
berarti ada fleksibilitas dalam rasio modal-output dan rasio
modal-tenaga kerja. Teori Solow-Swan melihat bahwa dalam banyak hal mekanisme pasar
dapat menciptakan keseimbangan, sehingga pemerintah tidak perlu terlalu banyak
mencampuri atau mempengaruhi pasar. Campur tangan pemerintah hanya sebatas
kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Tingkat pertumbuhan berasal dari tiga
sumber yaitu, akumulasi modal, bertambahnya penawaran tenaga kerja, dan peningkatan teknologi. Menurut Simon Kuznets, pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas
dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai
barang ekonomi bagi penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau
dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi,
kelembagaan, dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada.
Dengan tingginya pertumbuhan ekonomi diharapkan akan mempunyai dampak
multiplier atau yang dikenal dengan tricle
down effect atau penetesan ke bawah semakin besar. Salah satu indikator
penting untuk mengetahui kondisi ekonomi disuatu wilayah atau daerah dalam suatu periode tertentu ditunjukkan oleh data Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB). Dari PDRB dapat dilihat beberapa indikator turunan yang
mencerminkan lebih rinci perkembangan perekonomian antara lain struktur
perekonomian, pendapatan perkapita, dan laju pertumbuhan ekonomi (Machmud,
2002:25). Tingginya nilai pendapatan perkapita
mencerminkan kesejahteraan suatu
daerah semakin baik, sehingga PAD yang akan diterima suatu daerah juga akan
meningkat. Salah satu cara yang digunakan untuk mengukur
tingkat kesenjangan ekonomi regional antar Kabupaten atau Kota
adalah dengan Indeks Williamson. Williamson dalam (Kuncoro, 2004:133) meneliti
hubungan antar disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data
ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Disparitas ekonomi
regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah
tertentu. Pada tahap yang lebih ‘matang’ dilihat dari pertumbuhan ekonomi
tampak adanya keseimbangan antardaerah
dan disparitas berkurang dengan signifikan.
2.2 Kerangka Pikir
3. METODE
Artikel ini
dibuat berdasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu gejala atau
beberapa gejala ekonomi
tertentu dengan jalan menganalisanya (Soekanto, 1986:36). Sifat dari artikel ini adalah menganalisis dengan model ekonomi
dan dikomperatifkan dengan data-data statistik. Adapun sumber data dalam penulisan adalah ini adalah dengan
menggunakan data-data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan dalam
penulisan artikel ini yaitu buku teks,
website resmi, jurnal, serta bahan lainnya yang berkaitan dengan pokok bahasan.
3.3.1. Indeks Williamson
Untuk melihat ketimpangan Pendapatan kota Ambon provinsi Maluku digunakan Indeks Williamson sebagai berikut :
Keterangan :
Yi = PDRB perkapita di Kabupaten atau Kota ke i
Y = PDRB perkapita Provinsi
fi = Jumlah penduduk Kabupaten atau Kota ke i
n = Jumlah penduduk
i = 1,2,………k
k = Jumlah Kabupaten atau Kota
Vw
= 0,
artinya ketimpangan baik
Vw
= 1,
artinya ketimpangan buruk
3.4. Batasan Operasional Variabel
Adapun beberapa variabel operasional yang
digunakan adalah:
1. Ketimpangan
PDRB adalah perbedaaan tingkat kegiatan ekonomi dan pertumbuhan di suatu daerah
tertentu jika dibandingkan dengan daerah lain yang ditinjau dari PDRB setiap
daerah.
2.
Pertumbuhan
Ekonomi adalah pertumbuhan kondisi ekonomi yang dinilai berdasarkan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB).
3.
PDRB
adalah nilai barang dan jasa yang dihasilkan pada waktu tertentu.
4.
PEMBAHASAN
Kota Ambon merupakan daerah yang memiliki nilai
pendapatan asli daerah dan total penerimaan daerah yang tergolong baik jika
dibandingan dengan daerah lainnya yang ada di provinsi Maluku. Pertumbuhan
pendapatan daerah ini memiliki dampak positif terhadap pembangunan wilayah Provinsi
Maluku karena setiap pembangunan tentunya memerlukan dana yang tidak sedikit
jumlahnya. Pertumbuhan pendapatan daerah sering menjadi dilema dan penting
untuk di optimalkan oleh pemerintah daerah sehingga masalah anggaran dalam
upaya pengembangan wilayah Provinsi Maluku dapat teratasi.
4.1.
Analisis Ketimpangan
Ketimpangan yang terjadi antar daerah dapat dilihat
melalui nilai PDRB, yang menunjukkan adanya variasi yang cukup besar antar
daerah satu dan daerah lain. Distribusi PDRB kota Ambon secara keseluruhan meningkat,
dapat dilihat pada tabel yang telah disampaikan sebelumnya. Kontribusi terbesar
berada pada sektor perdagangan, perhotel dan restoran saja yang mendominasi, disusul
jasa-jasa serta sektor pertanian, perikanan dan kehutanan belum memberikan
kontribusi signifikan bagi kota Ambon.
4.2 Analisis
Ketimpangan Indeks Williamson
Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih baik
tentang kondisi dan perkembangan pembangunan di kota Ambon, berikut
ini akan dibahas mengenai perkembangan pemerataan pembangunan antar wilayah.
Dalam hal ini, kecenderungan pemerataan pembangunan antar wilayah dianalisis
dengan menggunakan Indeks Ketimpangan Regional (Regional Inequality) yang semula digunakan oleh Jeffrey G.
Williamson. Indeks Williamson yang digunakan dalam analisis ini menggunakan
timbangan rasio penduduk di tiap provinsi
terhadap total penduduk seluruh provinsi. Dengan alat analisis tersebut,
walaupun suatu provinsi mempunyai PDRB per kapita yang ekstrim tinggi, namun
kalau jumlah penduduknya relatif kecil, maka tidak terlalu menyebabkan
ketimpangan yang tinggi. Sebaliknya, walaupun besaran PDRB per kapita suatu provinsi
hanya moderat saja dibandingkan provinsi lain yang kecil, namun kalau jumlah
penduduknya relatif besar maka akan menyebabkan ketimpangan secara keseluruhan.
Indeks ketimpangan Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar dari
atau sama dengan nol – bernilai nol berarti tidak adanya ketimpangan ekonomi
antar daerah, lebih besar dari nol menunjukkan adanya ketimpangan ekonomi antar
daerah – semakin besar indeks yang dihasilkan semakin besar gejala ketimpangan
antar pembangunan daerah.
Selama enam tahun terakhir terjadi
pertumbuhan IW yang sangat fluktuatif oleh kedua daerah tersebut. Kota Ambon
dalam perkembangannya mengalami penurunan pada tahun 2010 dan 2011 sebesar
0,60% dan 2014 sebesar 0,89 jika dibandingkan dengan kelima tahun lainnya. Namun
pada tahun tertentu terjadi peningkatan yang signifikan yaitu pada tahun 2009
sebesar 0,71%, tahun 2012 sebesar 0,61% dan pada tahun 2013 sebesar 0,90%. Pertumbuhan
IW provinsi Maluku masih sangat mengalami ketimpangan yang semakin kecil dengan
angka rata-rata sebesar 0,73%. Artinya kota ambon memiliki peran penting dalam
memberikan kontribusi PDRB kepada provinsi Maluku, yaitu setiap tahun jumlah IW
berada pada angka >50%. Kota ambon diperkuat dengan laju pertumbuhan
penduduk yang relatif melambat namun PDRB dalam enam tahun terakhir menunjukan
peningkatan yang signifkan. Kondisi ini disebabkan kerena adanya praktik
investasi yang tinggi, pembangunan infrastuktur dan pelaksanaan bisnis,
ivent-ivent daerah yang menarik pengunjung dan wisatawan dan UMKM yang tumbuh
dinamis memberikan peluang untuk menumbuhkan PDRB kota Ambon. Kondisi ini
relevan dengan pernyataan Irma Adelman dan Chynthia
Taft Morris (dalam Arsyad,1999:226), penyebab ketimpangan atau
ketidakmerataan distribusi pendapatan dinegara sedang berkembang yakni:
-
Pertambahan penduduk yang
tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan perkapita
-
Inflasi dimana pendapatan uang
bertambah tetapi tidak diikuti secara proposional dengan pertambahan produksi
barang-barang
-
Ketidakmerataan pembangunan
antar daerah
-
Investasi yang banyak dalam
proyek-proyek yang padat modal (capital intensive) sehingga prosentase
pendapatan modal dari harta tambahan besar dibanding dengan presentase
pendapatan yang berasal dari kerja sehingga pengagguran bertambah
-
Rendahnya mobilitas sosial
-
Pelaksanaan kebijaksanaan
industri subsitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil
industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis
-
Memburuknya nilai tukar (term
off trade) bagi negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara
maju sebagai akibat ketidak elastisan permintaan negara-negara terhadap
barang-barang ekspor negara sedang berkembang
-
Hancurnya industri-industri
kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.
5. KESIMPULAN
DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan
perhitungan Indeks Williamson dapat disimpulkan bahwa terjadi ketimpangan yang semakin kecil pada kota Ambon selama periode 2009 sampai dengan 2014.
Hal ini disebabkan karena laju pertumbuhan
penduduk tidaklah signifikan dan PDRB kota Ambon semakin menguat.
5.2 Saran Tindak
Berdasarkan
hasil penelitian dapat diberikan beberapa saran yaitu:
1. Bagi pemerintah kota Ambon dapat membuat kebijakan yang tepat untuk mengurangi ketimpangan antar provinsi
tersebut.
2. Optimalisasi potensi daerah potensial dengan
melakukan investasi dan intervensi APBD perlu dioptimalkan untuk program
kegiatan yang menghasilkan produktivitas tinggi demi added value yang berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2016
Davey. K. J, Pembiayaan Pemerintah Daerah, Praktek – Praktek Internasional dan relevansinya bagi Dunia Ketiga(dunia baru,1982);
Irawan dan Suparmoko, M.
1999. Ekonomika Pembangunan Edisi Kelima. BPFE Yogyakarta: Yogyakarta.
-
Kuncoro, Mudrajad (2011) Perencanaan Daerah, penerbit salemba empat,
Jakarta;
-
..............., (2015) Mudah Memahami &
Menganalisis Indikator Ekonomi, penerbit UPP STIM YKPN, Yogyakarta
-
.................., 2002. Otonomi dan Pembangunan Daerah:
Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta: Penerbit Erlangga
-
Samuelson, Paul A. &
William D. Nordhaus, 2002, Makro Ekonomi, Erlangga Jakarta.
-
Sonny Sumarsono, Manajemen Keuangan Pemerintahan Graha Ilmu, , 2010, Yogyakarta;
-
SumitroDjojohadikusumo,EkonomiPembangunan,. PT
Pembangunan,1960, Jakarta;
-
Suparmoko, M. 2002.
Ekonomi Publik Untuk Keuangan & Pembangunan Daerah, Edisi Pertama. Yogyakarta : Andi Yogyakarta
-
Tarigan, Robinson.
2000. Ekonomi Regional(Teori Dan Aplikasi).
LAMPIRAN :
Sumber : hasil olahan
*) ASN Pemda MTB lulusan Magister Keuangan Publik pada MIE UPN Yogyakarta dan Lulusan Magister Manajemen Aset dan Penilaian Properti pada MEP UGM Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar