PRAKTEK PENGALIHAN HAK ATAS TANAH ULAYAT DALAM PEMBANGUNAN BANDARA MATHILDA BATLAYERY SAUMLAKIKABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah merupakan aset bangsa sebagai sumber daya alam yang dikaruniakan oleh
Tuhan Yang Maha Esa untuk dimiliki dan digunakan secara individu maupun
bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan primer maupun diberdayakan untuk memenuhi
kebutuhan sosial berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tanah merupakan sumber daya alam yang stratrgis bagi bangsa, negara dan
rakyat, maka didalam konsitusi yang berlaku di Indonesia telah diatur tentang
tanah sejak kemerdekaan bangsa ini. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjelaskan
bahwa segala kekayaan alam dikuasai oleh negara. Kewenangannegara ini ditegaskan
kembali dalam Pasal 2 UUPA No. 5 Tahun 1960 yaitu bahwa untuk
mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah
diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong dalam tatanan
hukum agraria nasional.
Dengan kebijakan negara yang tertuang dalam regulasi
tersebut, maka otomatis secara hukum seluruh ketentuan yang diatur dalam hukum
negara jajahan dicabut dan tidak berlaku karena sangat merugikan negara dan
masyarakat indonesia. Ketidakberlakuan tersebut mencakup Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (Staatsblad 1872
No. 117) dan peraturan pelaksanaannya dan AgrarischeWet
(Staatsblad 1870 No. 55), sebagaimana yang termuat dalam pasal 51 Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie
(Staatsblad 1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal
tersebut.
Dalam Pasal 3 UUPA No. 5 Tahun 1960 menjelaskan bahwadengan mengingat
ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannyamasih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi. Sehingga dalam pelaksanaannya tidaklah dapat dibenarkan, jika
berdasarkan hak ulayat masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian
hak guna usaha demikepentingan yang lebih luas maupun menolak kebutuhan dan
kebijakan nasional yang lebih besar dan memiliki hasil positif dan signifikan
bagi masyarakat. Dengan demikian pembebasan tanah merupakan kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak atas
tanah sebagaimana diataur lebih rinci didalam ketentuan Pasal 53 ayat (3) dan Pasal 59 Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,
yang dalam pelaksanaannya secara teknis telah diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 71 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum dengan demikian maka pembangunan bandar udara merupakan
pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana amanat peraturan perundang
undangan yang berlaku yang dalam prosesnya perlu dilakukan pengalihan hak atas
tanah dari pihak pemilik tanah kepada negara untuk digunakan sebesar besarnya
kepentingan rakyat.
Pasal 1 Permeneg Agraria
No. 5 Tahun 1999, menyebutkan bahwa Tanah Ulayat adalah
bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum
adat tertentu. Sedangkan, masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang
terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Dengan
demikian Tanah ulayat merupakan salah satu wujud dari titipan lelehur untuk
dikelolah demi memenuhi kebutuhan anak cucunya, Jadi, hak
penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat.
Sedangkan Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
lingkungan wilayahnya.
Tanah Adat Amtufu merupakan tanah ulayat dua desa yaitu desa Lorulung dan
desa Tumbur yang memiliki struktur adat dan petuanan yang sama yang disebut
dengan “makan bersama” yaitu seluruh aktifitas adat dan hak petuanan yang
diolah secara bersama-sama. Kedua desa ini saling berdekatan dan tidak memiliki
batas wilayah yang memisahkan. Menurut sejarah, kedua desa ini dulunya adalah
satu kampung yang bernama kampung Amtufu. Menurut informasi bahwa memecahkan
satu kampung menjadi dua adalah karena petuanan Amtufu yang luas dan berpotensi
adanya penyerobotan dari kampung lainnya. Kesepakatan tersebut diambil oleh
leluhur dengan memberikan kesempatan kepada para marga/soa yang hendak pindah
ke tanah wilayah disebelah selatan. Strategi leluhur untuk menjaga batas
petuanan mereka berjalan dengan baik dan kedua kampung tersebut telah
berkembang hingga saat ini, dan masih mengakui dan menjalankan ketentuan adat
dalam seluruh sendi kehidupan di desa dalam satu kesatuan masyarakat adat
kampung Amtufu.
Kampung Amtufu terletak di Kecamatan Weartambrian Kabupaten Maluku Tenggara
Barat yang hingga saat ini masih menjalankan kehidupan sosial berdasarkan
budaya dan adat yang di wariskan oleh leluhur sebagaimana desa lainnya. Hukum
adat yang dipegang teguh dan dilestarikan merupakan manifestasi dari hukum duan lolat yang diwariskan leluhur. Pada
umumnya hubungan sosial orang tanimbar dipengaruhi oleh struktur sosial yang
menjadi identitas bersama yang disebut Duan
Lolat. Drabbe maupun PR Renwarin menyimpulkan bahwa duan lolat merupakan struktur sosial yang mengatur hubungan sosial
orang Tanimbar secara keseluruhan. Hubungan sosial mereka selalu didasarkan
pada ikatan perkawinan yang terjadi diantara mereka. Dalam konteks perkawinan
tersebut, pihak keluarga yang memberi anak dara, dialah yang kemudian menjadi duan dan pihak yang menerima anak dara
yang selanjutnya menjadi lolat. Hubungan
duan maupun lolat merupakan bagian dari status sosial yang ada dalam struktur
sosial tersebut, sehingga masing-masing pihak berpegang teguh atas berbagai hak
dan kewajiban yang dimiliki. Status yang kemudian menimbulkan peran tersebut
dipegang teguh dalam dinamika kehidupan masyarakat di Tanimbar pada umumnya (Koritelu,
Paulus dkk. 2002).Dinamika kehidupan masyarakat adat tersebut dalam warisan
petuanan-pun selalu berlandaskan hukum duan
lolat dimana dalam prakteknya apabila pihak duan atau lolat yang
membutuhkan tanah masing-masing dari mereka dapat memilikinya melalui praktik
adat yang jalaniselama ini.
Masyarakat adat amtufu (desa tumbur dan lorulung)
pada umumnya berpekerjaan sebagai petani. Dalam pelepasan tanah ulayat menjadi
dilematis tersendiri bagi masyarakat setempat. Disatu sisi sebagai warga negara
diperhadapkan dengan kebijakan negara untuk membuka akses dimana saumlaki
berpeluang sebagai pintu masuk selatan indonesia, namun disatu sisi dengan
kebutuhan tanah yang sangat luas berdampak pada semakin terbatasnya masyarakan
kedua desa yang memiliki satu petuanan dan hak adat ini untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, disamping itu tanah yang dimiliki mempunyai nilai historis
sendiri yang adalah atas hasil perjuangan datuk-datuk atau leluhur melalui
proses perang yang panjang untuk mengasai, mempertahankan dan berdominsili
tetap didaerah tersebut dan bagi kelangsungan anak cucunya.
Semakin meningkatnya kebutuhan tanah untuk
pembangunan dan keterbatasan tanah negara, maka pilihan klasik pemerintah
adalah dengan digunakannya tanah ulayat untuk kepentingan nasional. Sejalan
dengan itu maka pemerintah akan berhubungan langsung dengan tua-tua adat dan
ketua pemangku adat di desa sebagai representasi dari warga desa untuk
mendukung program pemerintah tersebut dengan tujuan akhir adalah pengalihan
tanah ulayat sebagai tanah negara.
Gambar 1 : Lokasi dan Aktivitas Bandara Matilda Batlayeri
Saumlaki
Sumber : hubud.dephub.go.id dan bijaks.net
(2014)
Fenomena yang terjadi saat ini adalah masyarakat
mengklaim bahwa pemerintah daerah telah melengceng dari musyawarah yang telah
disepakati bersama masyarakat tentang besaran ganti kerugian,Penolakan pembayarakan
oleh masyarakat;Panangguhan pembanyaran oleh pemerintah daerah dan anggapan adanya
penyerobotan lahan diluar kesepakatan;
Dari kondisi diatas, maka sudah tentu proses
pengalihan hak atas tanah ulayat kepada pemerintah daerah semenjak tahun 2003
hingga saat ini belum dapat terealisasi karena belum adanya kesepakatan dan
penyerahan hak kepada pemerintah daerah sehingga hibah kepada kementrian Perhubungan
hingga saat ini belum dapat dilaksanakan. Kondisi ini akan sangat berdampak
pada kebijakan strategis nasional pada tahun-tahun berikutnya tentang
pengembangan dan peningkatan status bandara Mathilda Batlayeri nantinya. Masyarakat
dengan kondisi saat ini dimana adanya ketidakpercayaan terhadap pemerintah
daerah dapat menghambat pengadaan tanah untuk meningkatkan volume dan status
dari bandara tersebut.
2.
Rumusan Masalah
Pengalihan Hak Atas Tanah Ulayat masih menyisahkan
pekerjaan rumah bagi pemerintah karena selama + 13 tahun pelepasan tanah
seluas 250 hektar untuk Bendara Mathilda
Batlayeri belum sepenuhnya rampung, kondisi ini disebabkan karena adanya
ketidak puasan dari sebagian masyarakat atas besaran ganti kerugian yang
disepakati pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Selain itu ketidak puasan
masyarakat Amtufu atas keputusan pemerintah daerah yang melanggar kesepakatan
awal tentang tanggungan pajak diluar pembayaran ganti kerugian sebesar
Rp2000/meter2yang merupakan tanggungan pemerintah daerah namun
kenyataannya dibebankan didalam nominal pembayaran ganti kerugian tersebut. Masyarakat
Amtufu juga menuntut untuk melakukan peninjauan dan pengukuran kembali tanah
lokasi bandara yang dilepaskan dengan luas 250 hektar yang diduga telah
ditambah volumenya sebelum dipagari. Kondisi ini menurut masyarakat adat
setempat sebagai praktek sabotase yang tidak berpihak kepada masyarakat dimana
tanah yang semakin sempit akan berdampak pada ketidaktersediaannya lahan baru
bagi generasi berikut untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
1.1 Tujuan dan
Manfaat
1.1.1
Tujuan
Tujuan dari
makalah ini adalah sebagai tugas akhir mata kuliah Hukum Properti pada semester
II (dua).
1.1.2
Manfaat
Manfaat
dari tugas ini adalah dapat memahami secara konseptual danimplementasi aturan
dalam pengalihan hak atas tanah ulayat secara adil.
I.
TINJAUAN PUSTAKA
a.
Pengertian Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat mendiami
wilayahtertentu dan mengklaim wilayahnya sebagai hak ulayat (hak atas
wilayah). Mereka merupakan masyarakat yang jauh sebelum bernegara telah ada dan
mendiami wilayah tertentu.
Pengertian terhadap istilah hak
ulayat menurut G. Kertasapoetra dan kawan-kawan (1985:88) menyatakan bahwa ;
“Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang
dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban
pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu
persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga masyarakat (persekutuan
hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur
oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)”
Herman (2000) menegaskan pula bahwa ulayat adalah :
wilayah atau torirorial suatu masyarakat hukum adat dimana
semua tanah yang ada didalam wilayah ulayat disebut tanah ulayat. Diatas tanah
ulayat itulah dijalin hubungan hukum antara manusia sebagai anggota masyarakat
yang menyebabkan lahirnya hak-hak atas tanah. Sehingga dapat dikatakan bahwa
ulayat adalah wadah atau tempat bagi tumbuhnya hak-hak atas tanah. Sedangkan
tanah ulayat adalah objek bagi pertalian hubungan hukum antara manusia dengan
tanah dan antara manusia dengan manusia atas tanah. Sehngga masyarakat tidak
berkuasa untuk mengalihkan selama-lamanya tanah ulayat kepada pihak luar yang
bukan anggota persekutuan hidup.
Didalam
UUPA dan peraturan perundang-undangan setelah itu belum dijelaskan secara rinci
tentang defenisi dari tanah ulayat. Definisi tanah ulayat baru dijelaskan dalam
Pasal 1 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,yang menyebutkan
bahwa Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari
suatu masyarakat hukum adat tertentu. Sedangkan, masyarakat hukum adat adalah
sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama
suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan. Hak ulayat merupakan hak atas tanah adat yang diakui oleh pemerintah
yang hingga saat ini masih dijaga dan lestarikan dalam masyarakat hukum adat.
Hak ulayat didalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti
pula pengakuan hak tersebut, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan
diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada
masyarakat hukum yang bersangkutan. Hak ulayat merupakan hak atas tanah adat
yang diakui oleh pemerintah yang hingga saat ini masih dijaga dan lestarikan
dalam masyarakat hukum adat. Hak ulayat didalam Undang-undang Pokok Agraria,
yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak tersebut, maka pada dasarnya
hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya
memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan.
Menurut Rustandi
Ardiwilaga dalam jurnal Rosalina Eksistensi
Hak Ulayat (2010), bahwa lahirnya pemilikan tanah bagi individu umumnya
diawali pembukaan tanah yang diberitahukan kepala persekutuan hukum dan
diberikan tanda bahwa tanah itu akan digarap. Tanda itu, merupakan tanda
pelarangan sehingga hasil pohon, tanah ataupun kolam yang ada hanya untuk yang
berkepentingan saja, orang lain tidak boleh menggunakan dan mengambil hasilnya,
jika ada penyerobotan maka akan dilakukan perundingan secara bersama-sama,
misalnya di tanimbar disebut dengan sebutan sasiadat
yang di tancapkan janur kuning atau daun kelapa yang masih mudah pada
lokasi tanah tersebut, mereka akan melihat tanda tersebut bahwa ada pihak yang
melarang adanya praktek diluar sepengetahuan yang memiliki tanah tersebut
sehingga perlu dirundingkan melalui proses adat yang dihadiri oleh tua-tua adat
desa setempat.
b.
Pengalihan
Hak Atas Tanah
Peralihan atau pemindahan hak atas tanah berupa jual beli merupakan
perbuatan hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar hak atas tanah
berpindah dari yang mengalihkan (penjual) kepada penerima pengalihan tersebut
(pembeli).
Apabila akta
PPAT, dokumen-dokumen, data-data yang bersangkutan lengkap, dan benar serta
tidak disengketakan, maka diterbitkan Surat Tanda Bukti Hak berupa sertifikat.
Penerbitan sertifikat dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah
membuktikan haknya, serta sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum yang
berlaku terhadap pihak ketiga (Adrian Sutedi, 2007: 142)
Sesuai Pasal
40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
menyatakan bahwa setelah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Pejabat Pembuat
Akta Tanah Sementara (PPAT Sementara) membuat akta, selambat-lambatnya 7 hari
kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta tersebut, PPAT atau PPAT Sementara
wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang
bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.
Kepala
Kantor Pertanahan menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah,
jika salah satu syarat di bawah ini tidak terpenuhi:
1.
Sertifikat atau surat keterangan tentang keadaan hak
atas tanah tidak sesuai lagi dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor
Pertanahan.
2.
Perbuatan hukum berupa jual beli tanah tidak
dibuktikan dengan akta PPAT.
3.
Perbuatan hukum berupa jual beli tanah tidak dibuktikan
dengan akta PPAT.
4.
Tidak dipenuhi syarat lain yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
5.
Tanah yang bersangkutan merupakan obyek sengketa
di Pengadilan.
6.
Perbuatan hukum berupa jual beli tanah yang
dibuktikan dengan akta PPAT batal atau dibatalkan oleh putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
7.
Perbuatan hukum berupa jual beli tanah yang
dibuktikan dengan akta PPAT dibatalkan oleh para pihak sebelum didaftar oleh
Kantor Pertanahan
Penolakan
Kepala Kantor Pertanahan dilakukan secara tertulis dengan menyebut
alasan-alasan penolakan itu, surat penolakan tersebut disampaikan kepada yang
berkepentingan, disertai pengembalian berkas permohonannya, dengan salinan
kepada PPAT (A.P.Parlindungan, 1999: 146). Hak - hak atas tanah yang dimaksud
diatur dalam Pasal 16 Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok - Pokok Agraria (UUPA), yaitu :
1. Hak milik.
2. Hak guna usaha.
3. Hak guna bangunan.
4. Hak pakai.
5. Hak sewa.
6. Hak membuka tanah.
7. Hak memungut hasil hutan.
8. Hak - hak lain yang tidak termasuk dalam hak - hak tersebut di atas yang ditetapkan dalam undang - undang serta hak - hak yang sifatnya sementarasebagaimana disebutkan dalam Pasal 53, yaitu :
a. Hak gadai.
b. Hak usaha bagi hasil.
c. Hak menumpang.
d. Hak sewa tanah pertanian.
2. Hak guna usaha.
3. Hak guna bangunan.
4. Hak pakai.
5. Hak sewa.
6. Hak membuka tanah.
7. Hak memungut hasil hutan.
8. Hak - hak lain yang tidak termasuk dalam hak - hak tersebut di atas yang ditetapkan dalam undang - undang serta hak - hak yang sifatnya sementarasebagaimana disebutkan dalam Pasal 53, yaitu :
a. Hak gadai.
b. Hak usaha bagi hasil.
c. Hak menumpang.
d. Hak sewa tanah pertanian.
Ada 2 (dua)
cara dalam mendapatkan ataupun memperoleh hak milik, yakni
:
1. Dengan
pengalihan, yang meliputi beralih dan dialihkan. Dalam hal ini berartiada pihak
yang kehilangan yaitu pemilik semula dan pihak lain yangmendapatkan suatu hak
milik.Terjadinya hak milik sesuai dengan Undang–Undang Pokok Agraria Nomor
5Tahun 1960 pada Pasal 22, yaitu:Terjadinya hak milik menurut hukum adat yang
diatur dengan PeraturanPemerintah. Dalam hal ini berarti terjadinya hak milik
tesebut, diawalidengan hak seorang warga untuk membuka hutan dalam
lingkunganwilayah masyarakat hukum adat dengan persetujuan Kepala Desa.
Dengandibukanya tanah tesebut, belum berarti orang tersebut langsungmemperoleh
hak milik. Hak milik akan dapat tercipta jika orang tersebut memanfaatkan tanah
yang telah dibukanya, menanami dan memelihara tanah tersebut secara terus
menerus dalam waktu yang sangat lama. Dari sinilah hak milik dapat tercipta,
yang sekarang diakui sebagai hak milik menurut UUPA. Terjadinya hak milik
dengan cara ini memerlukan waktu yang cukup lama dan tentunya memerlukan
penegasan yang berupa pengakuan dari pemerintah.
2.
Terjadinya hak milik karena
penetapan pemerintah, yaitu yang diberikanoleh pemerintah dengan suatu
penetapan menurut cara dan syarat-syaratyang telah ditetapkan oleh Peraturan
Pemerintah. Dalam hal ini berartipemerintah memberikan hak milik yang baru sama
sekali. Pemerintah jugadapat memberikan hak milik berdasarkan perubahan dari
suatu hak yangsudah ada. Misalnya dengan peningkatan dari Hak Guna Usaha
menjadiHak Milik, Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik, Hak Pakai menjadiHak
Milik.
c.
Tanimbar dan Hukum Adat
Salah satu dasar hukum adat menurut pospisil, 1958 dalam Koentjaraningrat
(1985), keputusan-keputusan pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi
berdasarkan kekuasaan masyarakat yang nyata dan mewajibkan ketaatan dari semua
pihak yang bersangkutan dengan tekanan sanksi nyata. Nilai-nilai lokal dan
kearifan tradisional, bagi masyarakat bersangkutan merupakan pedoman dan
kepercayaan yang harus diikuti turun temurun tanpa reverse. Melalui lembaga adat, masyarakat setempat membentuk suatu
komunitas untuk mendapatkan nilai-nilai lokal dan tradisional. Itulah sebabnya
lembaga adat adat bersifat mantap, kokoh dan menjadi rujukan sikap masyarakat
tradisional dalam mengelola lingkungan hidupnya (Hendropuspito, 1989). Sehingga
siapapun yang terpilih sebagai ketua lembaga adat tidak akan berani melanggar
nilai-nilai lokal dan tradosional. Berbicara tentang lembaga adat tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan pranata sosial. Menurut Narwoko dan Suryanto, (2004)
dalam Ibrahim (2002), terdapat tiga kunci didalam pranata sosial yaitu 1).
Norma dan nilai; 2). Pola perilaku yang dibakukan atau disebut prosedur umum;
3). Sistem hubungan, yakni jaringan peran serta status yang menjadi wahana
untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku. Dalam
kehidupan masyarakat Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, telah sejak
lama terpelihara sebuah nilai kekerabatan yang disebut sebagai duan lolat. Sebagaimana disampaikan
dalam artikel Kompasiana.com oleh Nikolaus Powell Reressy bahwa Drabbe (1928
dan 1989), Bohm (1995), Koritelu (2009), Pangemanan dan Bohm (2011), de Jonge
dan van Dijk (2011), Lerebulan (2011), dan Wuritimur (2012) adalah sekelompok
orang yang telah meneliti dan menulis nilai duan
lolat. Dalam tulisan-tulisan tersebut diterangkan bahwa secara harfiah,
kata duan berarti tuan atau pemilik
suatu barang. Tuan atau pemilik ini berfungsi sebagai pelindung terhadap barang
itu. Sementara itu kata lolat berarti penerima suatu barang. Pelembagaan nilai duan lolat terjadi pada proses
perkawinan adat, dimana duan merupakan predikat yang diberikan kepada kelompok
keluarga yang bertindak sebagai pemberi perempuan, sedangkan lolat adalah
predikat bagi kelompok keluarga yang bertindak sebagai penerima perempuan.
Hubungan kekerabatan duan lolat di atas tersimbol dalam berbagai bentuk barang
pemberian, baik dari pihak duan maupun dari pihak lolat, yang berlangsung
secara makanik dalam setiap peristiwa kehidupan masyarakat Tanimbar.
Peristiwa-peristiwa dimaksud berlangsung di sepanjang kehidupan manusia, mulai
dari kelahiran, perkawinan, pembangunan rumah, sampai pada kematian. Pihak duan
biasanya berkewajiban untuk memberikan pakaian dan perlengkapannya, termasuk
juga bahan makanan berupa beras dan umbi-umbian, kepada pihak lolat. Sementara
itu, pihak lolat berkewajiban untuk memberikan lauk-pauk seperti daging dan
minuman sopi (tuak khas Tanimbar) kepada pihak duan.
Hukum adat dalam masyarakat
Tanimbar biasanya disebut sebagai hukum Duan
Lolat. Duan berasal dari kata ”Ndrue”
yang berarti tuan, raja, pemimpin dan penguasa. Dalam strata sosial masyarakat
Tanimbar, Duan selalu memiliki
kedudukan lebih tinggi daripada Lolat.
Duan Lolat merupakan simbol adat yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat Tanimbar. Duan adalah tanah dan Lolat adalah hujan. Lolat disimbolkan dengan
hujan yang jatuh ke bumi yang memberikan kesuburan pada tanah. Duan besar adalah Tuhan sedangkan manusia adalah Lolat. Duan dan Lolat memiliki
arti lain, Duan dapat berarti pemberi dara sedangkan Lolat berarti penerima dara. Duan
dan Lolat dalam arti harafiah dapat
dipahami sebagai hubungan antara tuan (duan) dan hambanya (lolat). Duan berarti pemberi anak dara dan Lolat
berarti penerima anak dara. Duan dan Lolat merupakan keterikatan adat
istiadat yang sangat kental dan erat dalam berbagai aktifitas dalam masyarakat
Tanimbar. Hukum Duan Lolat mengandung
nilai dan norma yang hidup di kepulauan Tanimbar untuk mengatur hubungan darah
dari sebuah perkawinan suami atau laki-laki dan isteri atau perempuan yang
berlansung secara terus menerus dalam kehidupan masyarakat Tanimbar. Hukum adat
Duan Lolat mempunyai fungsi untuk
mengatur hubungan sosial dan menjelaskan aturan dalam bertingkah laku dalam
kehidupan sehari-hari baik itu dalam menyelesaikan masalah, pembagian harta
warisan sampai pada penyelesaian kejahatan.
d.
Ganti Kerugian Tanah untuk Kepentingan Umum
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 2 Tahun 2012
tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk Kepentingan Umum yang dimaksud
dengan Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi
ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak (Pasal 1 angka 2).
Pihak yang berhak tersebut adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek
pengadaan tanah (Pasal 1 angka 3). Objek Pengadaan Tanah adalah tanah, ruang
atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan
tanah, atau lainnya yang dapat dinilai (Pasal 1 angka 4).
UUPA dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 mengatakan kepentingan umum
dinyatakan dalam arti peruntukannya, yaitu :
“Untuk kepentingan bangsa dan
negara, kepentingan bersama dari rakyat dan kepentingan pembangunan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah
kepentingan tersebut harus memenuhi peruntukannya dan harus dirasakan
kemanfaatannya, dalam arti dapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan
dan atau secara langsung”
Menurut Maria S.W Sumardjono ganti rugi diberikan dalam bentuk :
1.
Uang;
2.
Tanah dan/atau bangunan pengganti
atau pemukiman kembali;
3.
Tanah dan/atau bangunan dan/atau
fasilitas lainnya dengan nilai paling kurang sama dengan harta benda wakaf yang
dilepaskan;
4.
Recognisi berupa pembangunan
fasilitas umum atau bentuk lain yangbermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat
setempat (untuk tanah ulayat), atau sesuai keputusan pejabat yang berwenang
untuk tanah instansi pemerintah atau pemerintah daerah.
Pendapat
Sudaryo Soimin, pembebasan tanah tidak terlepas dari masalah ganti rugi yang
menjelaskan bahwa :
“Ganti Rugi (Compensation) yang
utama adalah merupakan penggantian kerugian, bilamana harta seseorang pemilik
yang dicabut dari harta pribadinya. Nilai ganti rugi yang dibayar tersebut
harus sama dengan nilai yang diambil padanya, tujuan dan ganti rugi itu untuk
mendapatkan uang yang nilainya setara dengan yang diambil.”
Asas dalam
pengadaan tanah menurut hukum nasional dalam makalah Syafrudin
Kalo (2004), disampaikan bahwa :
1. Asas Kesepakatan / Konsensus;
2. Asas Kemanfaatan;
3. Asas Kepastian;
4. Asas Keadilan;
5. Asas Musyawarah;
6. Asas keterbukaan;
7. Asas Keikutsertaan
8. Asas Kesetaraan.
Maria S.W
Sumardjono (2001) tanah negara adalah tanah-tanah yang tidak dilekati dengan
suatu hak yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas
tanah negara, hak pengelolan serta tanah ulayat dan tanah wakaf. Adapun ruang
lingkup tanah negara meliputi :
1. Tanah-tanah yang diserahkan secara
sukarela oleh pemiliknya;
2. Tanah-tanah hak yang berakhir jangka
waktunya dan tidak diperpanjang lagi;
3. Tanah-tanah yang pemegang haknya
meninggal dunia tanpa ahli waris;Tanah-tanah yang ditelantarkan;
4.
Tanah-tanah yang diambil untuk
kepentingan umum.
Menurut
Ali Ahmad Chomzah kriteria kepentingan umum serta prosedur untuk
menerapkannya tidak akan dapat berjalan dengan baik apabila tidak tersedia
sumber daya manusia pelaksana yang memenuhi kualifikasi, baik secara moral
maupun profesional.
Pertama,
kualifikasi moral, artinya bahwa dalam penentuan kepentingan umum dibutuhkan
orang-orang yang secara jelas memunyai sikap, prilaku dan komitmen terhadap
moral, menjaga kejujuran, dan kebenaran dalam menentukan pemanfaatan
kepentingan umum tersebut sehingga tidak ada lagi kepentingan umum sekedar
kedok untuk mewujudkan kepentingan pribadi.
Kedua,
kualifikasi profesional, artinya bahwa dalam penentuan kepentingan umum
dibutuhkan orang-orang yang benarmengerti segala kompleksitas persoalan hukum
tanah, baik hukum positif maupun hukum yang hidup di masyarakat. Persoalan
sengketa tanah yang akhir-akhir ini justru menggejala dan menimbulkan korban
manusia terjadi diakibatkan oleh kecerobohan dan ketidaktahuan aparat tentang
hukum tanah. Misalnya, kasus pembunuhan masyarakat transmigran oleh penduduk
adat setempat, hal ini terjadi akibat tidaktahu kepemilikian hukum adat yang
hidup di masyarakat setempat.
Menurut
pendapat Ali Ahmad Chomzah, bahwa :
“pengambilan keputusan oleh
Pemerintah pada setiap jenjang pemerintahan untuk mendapatkan hak atas tanah
harus selalu didasarkan pada kebutuhan tanah dalam melaksanakan fungsi-fungsi
pemerintahan dalam rangka mencapai tujuan negara sebagaimana dirumuskan pada
alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa”
Dari konsep
di atas dapat dipahami bahwa tujuan dan perolehan tanah yang dilakukan
pemerintah sepenuhnya untuk kepentingan umum dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Sehingga manakala pemerintah membutuhkan tanah
masyarakat haruslah dilakukan dengan cara-cara atau sesuai dengan prosedur
hukum sehingga tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kepentingan umum tidak
bersebrangan dengan pemilik tanah yang berhak atas tanah tersebut.
I. METODE
Makalah hukum properti merupakan tugas yang dibuat
berdasarkan pada metoda, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan
untuk mempelajari suatu gejala atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisanya (Soekanto, 1986:36). Jenis penelitian yang digunakan dalam tugas
ini adalah bersifat normatif yang merupakan suatu penelitian yang mempelajari
norma norma hukum yang merupakan bagian essensial dalam ilmu hukum (Mahmud,
2005:36), dikomperatifkan dengan ilmu penilaian properti serta implementasi kebijakan dan praktek dilapangan.
Sifat dari tugas ini adalah menjelaskan dari
perspektif hukum yang berhubungan dengan property secara normatif yang
dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori, konsep baru sebagai prespektif
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Mahmud,2005:35).
Adapun sumber data dalam
penulisan paper ini adalah dengan menggunakan data-data sekunder. Sumber data
sekunder yang digunakan dalam penulisan makalah ini yaitu merupakan bahan hukum
yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berbagai
referensi berupa buku cetak, Koran online,
artikel, serta bahan lainnya yang berkaitan dengan pokok bahasan.
I.
PEMBAHASAN
3.1 Implementasi Pengalihan Hak
Atas Tanah
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukar-menukar,
perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibahatau
cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain Pemerintah guna
pelaksanaanpembangunan termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak
memerlukan persyaratan khusus.
Pemindahan hak atas tanah adalah perbuatan hukum untuk memindahkan hak atas
tanah kapada pihak lain. Pemindahan dilakukan apabila status hukum pihak yang
akan menguasai tanah memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah yang
tersedia, dan pemegang hak atas tanah tersebut bersedia untuk memindahkan
haknya. Secara khusus Herman Soesangobeng mengatakan falsafah kepemilikan atas
tanah dalam hukum adat, hakekat dasarnya adalah dari pertautan manusia dengan
tanah dan alamnya dan bukan pada hak, melainkan pada hubungan kuatnya pertautan
hubungan yang melahirkan kewenangan (hak). Oleh karena itu hak lahir melalui
proses intensitas hubungan antara manusia dengan tanah tidak dari keputusan
pejabat. Dalam filosofi adat, hak dipahamkan sebagai suatu yang relatif dan
mudah berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga
hak sesuatu yang tidak mutlak. Pengalihan hak atas tanah, yang dilakukan dengan
cara jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang.
Dengan demikian berarti setiap pengalihan hak milik atas tanah, yang dilakukan
dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan PPAT.
Jual beli, tukar menukar atau hibah ini dalam konsepsi hukum adat adalah suatu
perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai. Dengan terang dimaksudkan bahwa
perbuatan hukum tersebut harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yang
menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan hukum tersebut.
Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan selesainya perbuatan hukum
dihadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan hukum yang dilakukan dengan
segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat
dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai hak
atas tanah (hakmilik) yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan
dan kewenangan bertindak atas bidang tanah tersebut.
Konsepsi pengalihan hak atas tanah merupakan aktifitas penjualan, tukar
menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang,
hibah maupun cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain pemerintah guna
pelaksanaan pembangunan termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak
memerlukan persyaratan khusus. Hak - hak
atas tanah yang dimaksud antara lain hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan
hak - hak lain yang tidak termasuk dalam hak - hak tersebut di atas yang
ditetapkan dalam undang – undang. Hak -
hak yang sifatnya sementara yaitu Hak gadai, hak usaha bagi hasil, Hak
menumpang, hak sewa tanah pertanian.
Peralihan
hak atas tanah merupakan berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak yang
lama kepada pemegang hak yamg baru dengan dua 2 (dua) cara peralihan hak atas
tanah, yaitu beralih dan dialihkan. Beralih menunjukkan berpindahnya hak atas
tanah tanpa ada perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemiliknya, misalnya
melalui pewarisan. Sedangkan dialihkan menunjuk pada berpindahnya hak atas
tanah melalui perbuatan hukum yang dilakukan pemiliknya, misalnya melalui jual
beli.
Tanah
milik masyarakat ulayat hukum adat dapat melepaskan tanah tersebut dengan cara
tukar guling (ruislag) atau melalui pelepasan hak atas tanah terlebih
dahulu oleh kepala adat. Hak atas tanah
adalah hak yang memberi kewenangan kepada seseorang yang mempunyai hak untuk
mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah
berbeda dengan hak penguasaan atas tanah.
3.2
Mekanisme dan kendala Pengalihan Hak atas Tanah untuk pembangunan Bandara
Mathilda Batlayeri
Dalam tahapan pembebasan lahan perlu adanya upaya
pihak yang berkepentingan dengan masyarakat dalam upaya secara menguntungkan
dan menghindari salah prosedur yang secara umum dapat dilakukan melalui
beberapa mekanisme menurut PP 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yaitu
:
1.
Melaksanakan
pemberitahuan rencana pembangunan
Dalam
pemberitahuan rencana pembangunan berupa penyampaian maksud dan tujuan rencana pembangunan, letak tanah dan luas tanah
yang dibutuhkan, tahapan rencana Pengadaan Tanah, perkiraan jangka waktu
pelaksanaan Pengadaan Tanah, perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pembangunan;
dan informasi lainnya yang dianggap perlu. Pemerintah
daerah sebagai pihak yang berkepentingan telah melakukan pemberitahuan, kegiatan
sosialisasi, tatap muka dan surat pemberitahuan terkait akan dilaksanakannya
pembangunan bandara tersebut.
2.
Musyawarah
Musyawarah
yang berisikan tentang negosiasi dan kesepakatan mengenai harga ganti kerugian
tanah, tanaman dan bangunan. Pelaksanaan musyawarah
dibagi dalam beberapa kelompok dengan mempertimbangkan jumlah Pihak yang
Berhak, waktu dan tempat pelaksanaan musyawarah penetapan Ganti Kerugian.
Dalam
pelaksanaannya masyarakat Amtufu dan pemerintah daerah melakukan musyawarah
yang dihadiri oleh seluruh ketua dan anggota pemangku adat, tokoh masyarakat
dan seuruh masyarakat Amtufu baik dari desa Lorulung maupun desa Tumbur.
3.
Penetapan
Ganti Kerugian
Kesepakan
bersama antara yang berkepentingan dengan pemilik tanah tentang besaran uang,
barang dan benda yang ditukarkan tanpa ada paksaan dan tindakan intimidasi
lainnya yang dapat merugikan pihak pemilik tanah.Dari hasil musyawarah
disepakati ganti kerugian sebesar Rp2000,00.
Harga
tanah permeter persegi yang disetujui bukan atas dasar nilai tanah yang
dikeluarkan oleh penilai independen.
4.
Pembayaran
Ganti Kerugian
Kepada
yang berhak menerima ganti kerugian pada tahap pertama dapat berjalan dengan
lancar namun pada tahap selanjutnya terjadi gagal bayar atas tanah dan tanaman karena
adanya penolakan olah beberapa marga/Soa terhadap inkonsisitensi pemerintah
daerah dalam menentukan jumlah harga yang dibayarkan sebagai ganti kerugian.
Dimana kesepakatan awal bahwa masyarakat menerima besaran dana tanpa pemotongan
pajak namun dalam prakteknya masyarakat dibebankan lagi pembayaran pajak dari
kesepakatan jumlah ganti kerugian tersebut.
3.3 Konflik dalam pengalihan hak atas tanah
Tidak jarang pemerintah mengalami konflik dengan masyarakat pemilik tanah
sebelum dialihkan hak atas tanah kepada pemerintah. Sebagaimana
disampaikan dalam tahrir.or.id dimana ganti
rugi benar-benar berpotensi merugikan pemilik lahan. Bila pemerintah berkilah
bahwa UU Pengadaan Lahan ini dapat melindungi lahan miliki warga, hal yang
sebaliknya justru dapat terjadi. Dengan UU ini pemerintah dapat mengambil alih
lahan warga secara ‘paksa’, karena UU ini mengikat dan menuntut siapa saja yang
tidak mau melepas tanahnya. Selain paket
perundang undangan yang berpotensi tidak adil disisi lain tidak transparansinya
aparat pemerintah dalam melakukan pembayaran ganti rugi kepada pihak yang
berhak maupun prosedural adat yang dijaga dan lestari sampai saat ini.
3.2.1 Perjuangan
Masyarakat Adat dalam Gerakan Amtufu Bangkit (GAB)
Gerakan Amtufu
Bangkit (GAB) merupakan jawaban dari dilema masyarakat Amtufu atas ketidak
puasan mereka selama ini terkait masalah ganti kerugian tanah dan tanaman tanah
adat amtufu yang menurut mereka jauh dari keberpihakan terhadap masyarakat
setempat. Awalnya masyarakat adat setemat berjuang secara parsial atau
marga/soa saja namun niat ini terkandas akibat tidak adanya penyelesaian
masalah oleh pemangku kepentingan.
Gerakan Amtufu
bangkit berdiri (GAB) diketuai oleh Drs. Yos Malindar, M.Si merupakan
hasil musyawarah masyarakat desa Tumbur dan Lorulung pada tanggal 13 Oktober
2013 di desa Lorulung. Dimana para pengurus dan anggota yang terdiri dari
seluruh keterwakilan masyarakat yakni unsur pemerintah desa, tua-tua adat,
tokoh agama, pemuda, masyarakat dan tokoh pendidik yang berdominsili di kedua
desa tersebut maupun sejumlah putera desa terbaik yang berada diluar daerah
yaitu yang menetap di Saumlaki, Tual, Ambon, Merauke, Sorong, Jayapura, Jakarta
dan di Belanda. Organisasi ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah
Desa Lorulung Nomor 140/271/2013 tentang Pembentukan Lembaga Gerakan Amtufu
Bangkit.
Adapun
beberapa tuntutan lembaga GAB kepada pemerintah daerah antara lain adalah :
- Pihak lembaga GAB
menginginkan secapatnya pemerintah daerah meresponi ganti kerugian masyarakat
yang masih tersisa dari tahun 2003 silam. Disisi lain dalam konferensi pers
Mathias Malaka selaku Sekretaris Daerah Maluku Tenggara Barat menegaskan bahwa
pihak pemerintah daerah tetap meresponi kepentingan masyarakat Amtufu yang
belum mendapatkan haknya namun sebelum itu perlu adanya menyelesaian konflik
internal atas klaim hak milik marga/soa karena pemerintah daerah tidak akan
mengambil resiko jika terjadi pembayaran yang salah sasaran.
-
Pajak yang
ditanggung pemilik tanah tidak sesuai kesepakatan awal dengan pemerintah
daerah. Anggaran ganti kerugian yang dibayar bertahap dari pos APBD Kabupaten
Maluku Tenggara Barat berjumlah Rp7.000.000.000,00 telah terealisir sebesar
Rp4.600.000.000,00 selisih sisa yang belum dibayarkan sebesar
Rp2.400.000.000,00 termasuk pajak. Pemerintah daerah menegaskan bahwa
pembayaran tetap pada angka 2000/m2 sebagaimana disepakati dalam
kesepakatan bersama masyarakat pemilik petuanan sehingga opini yang berkembang
dan menjadi salah satu wacana perjuangan lembaga GAB dapat diantisipasi agar
tidak menimbulkan opini negatif masyarakat terhadap pemerintah daerah. Namun
disisi lain lembaga GAB berpendapat bahwa pemerintah daerah telah menipu
masyarakat karena kesepakatan awal bahwa besaran ganti rugi permeter persegi
sebesar Rp2000 tidak termasuk tanggungan pajak oleh masyarakat namun dalam
dokumen kesepakatan dicantumkan kewajiban pajak sudah dialokasikan sebesar
jumlah anggaran ganti kerugian tersebut.
-
Lembaga GAB
mengklaim pemerintah daerah tidak transparan dan melakukan penyerobotan
terhadap tanah ulayat mereka diluar yang disepakati sebesar 350 hektar sesuai perjanjian
dimana mapping location berbentuk “senjata”
namun kondisi sekarang sudah berubah menjadi persegi panjang sehingga tuntutan
lembaga GAB agar perlu ditinjau ulang dilapangan melalui pengukuran kembali.v
Dalam
gerakan lembaga ini diarahkan untuk melakukan tuntutan terhadap berbagai
kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat pemilik tanah ulayat
tersebut. Alhasil dari itu hingga saat ini pemerintah khususnya kementrian
perhubungan belum menerima hibah kepemilikan lahan secara sepenuhnya dari
pemerintah daerah.
3.4
Memaknai Tanah Ulayat saat ini
Dalam hal pengalihan hak atas tanah untuk
pembangunan bandara Mathilda Batlayeri Saumlaki dimaknai bahwa Oleh masyarakat
setempat hak ulayat merupakan tanah yang diwariskan olah leluhur kepada anak
cucunya yang dimiliki melalui perjuangan panjang untuk mendapatkan tanah
tersebut sebagai hak milik. Penguasaan tanah tersebut dulunya melalui perang
antar kampung sehingga nampak di kepulauan tanimbar dominan kampung tua
(kampung lama) berada di atas bukit untuk menghindar dari serangan musuh. Masyarakat
adat Amtufu masih menghargai warisan leluhur mereka meskipun ada beberapa pihak
yang secara sepihak telah mensertifikasi sebidang tanah sebagai hak milik namun
secara khusus tanah untuk lokasi bandara didominasi oleh tanah ulayat.
Masyarakat mengakui bahwa uang ganti kerugian hanya untuk orang perorang atau
keluarga yang memiliki tanaman pada suatu lahan sedangkan tanah merupakan hak
adat yang akan dibagi secara proporsional untuk desa, marga/soa dan
masyarakatnya.
Proses pengalihan hak atas tanah ulayat Amtufu
melalui ganti rugi mengakibatkan tanah ulayat semakin sempit dan terbatas.
Menurut Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat,
yang menegaskan bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat hukum adat tidak dapat
lagi dilakukan terhadap bidang-bidang tanah yang sudah dipunyai perorangan atau
Badan Hukum dengan suatu hak atas tanag menurut UUPA dan merupakan
bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh oleh instansi pemerintah, bidang hukum
atau perseorangan sesuai ketentuan dan tata cara yang berlaku (Syahmunir, 2000)
dengan demikian warga setempat tidak akan menerima hasil apapapun lagi dari
tanah tersebut setelah dilepaskan kepada pemerintah yang otomatis akan dikuatkan
dengan peraturan perundangan yang mengatur tentang hak milik.
3.5 Kebijakan relefanPemerintah Daerah
Untuk menyelesaikan tugas pemerintah daerah yang masih
tertunda sejak tahun 2003 hingga saat ini dan menghindari konflik dengan masyarakat
Amtufu, maka pemerintah perlu secepatnya melakukan pembayaran ganti kerugian dengan
mengacu pada surat keputusan bersama antara pemerintah daerah dengan masyarakat
adat Amtufu; dan secara transparansi melayani permintaan masyarakat adat Antufu
sehingga status tanah lokasi bandara Mathilda Batlayeri dapat dilakukan
pengalihan hak atas tanah dan hibah seutuhnya kepada pihak Kementrian
Perhubungan Republik Indonesia. Sebagaimana Chariul Humam Kepala Kantor Unit
Penyelenggara Bandar Udara (KUPBU) Mathilda Batlayeri surat kabar online dhara
post (21/10/2015) menyampaikan bahwa status bandara Mathilda Batlayeri belum
sepenuhnya menjadi hak milik Kementrian Perhubungan RI sehingga belum diserah
terimakan. Mengingat pengadaan tanah untuk bandara merupakan pembangunan untuk
kepentingan umum sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012 dan Pepres No. 71
Tahun 2012, maka pemerintah daerah telah menyanggupi untuk membayar sisa
anggaran ganti kerugian yang belum dibayarkan dalam tahun 2016 ini dari pos
APBD Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
3.5 Ganti rugi yang adil dan Pendekatan
Penilaian Tanah
Hak
atas tanah harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya, sehingga
bermanfaat bagi pemegang hak dan masyarakat yaitu adanya keseimbangan antara
kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum, dan bahwa kepentingan
perseorangan tersebut diakui dan dihormati dalam rangka pelaksanaan kepentingan
masyarakat secara keseluruhan. Namun dalam pelaksanaannya sering kali tidak
mudah untuk menentukan keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan
kepentingan umum.
Ganti
rugi merupakan upaya mewujudkan penghormatan kepada hak-hak dan kepentingan
perseorangan yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum, dapat disebut adil
apabila hak tersebut tidak membuat seseorang menjadi lebih kaya atau menjadi
lebih miskin dari kondisi sebelumnya. Bahwa Pengadaan tanah untuk pelaksanaan
pembangunan demi kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah
penetapan ganti kerugian dengan tujuan memperoleh
kesepakatan mengenai pelaksanaan pembangunan di lokasi yang ditentukan, beserta
bentuk dan besar ganti kerugian.
Pembebasan tanah perlu dilakukan
gantu kerugian oleh pemerintah, ganti rugi akan dibayar kepada pemilik lahan
apabila tanah dibebaskan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut Budi
Harjanto dan Wahyu Hidayati (2015:15) untuk mendapatkan ganti rugi yang adil
kedua belah pihak, maka harus mengikuti prinsip-prinsip betterment yaitu suatu prinsip yang menerangkan pada pemberian
kompensansi yang tidak menguntungkan dan tidak merugikan kepada kedua belah
pihak, oleh karena itu peranan penilai diperlukan. Peranan penilai dengan
kapasitas yang bebas (tidak berpihak) sehingga memperoleh nilai yang adil.
Kemudian
proses
musyawarah yang dilakukan oleh panitia pembebasan tanah dan pemegang hak
ditujukan untuk memastikan bahwa pemegang hak memperoleh ganti kerugian yang
layak terhadap tanahnya. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pasal 36 mengamanatkan
bahwa Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk :
a.
uang;
b.
tanah pengganti;
c.
permukiman kembali;
d.
kepemilikan saham;
e.
atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak
Faktor penunjang keberhasilan dalam pengadaan tanah,
baik oleh pihak swasta maupun pihak pemerintah yang memerlukan pengadaan tanah
tersebut adalah keahlian dalam memperoleh informasi mengenai kondisi psikologis
dari pemegang hak, latar belakang dan nilai historikal tanah tersebut agar
dapat melakukan pendekatan serta memperhitungkan ganti kerugian yang sesuai dan
wajar kepada para pemegang hak yang bersangkutan.
Ganti Kerugian adalah
penggantian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan
tanah. Penilai Pertanahan atau Penilai merupakan orang perseorangan yang
melakukan penilaian secara independen dan profesional yang telah mendapat izin
praktik penilaian dari Menteri Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga
Pertanahan untuk menghitung nilai/harga objek pengadaan tanah. Penilaian untuk keperluan ganti kerugian meliputi:Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai dilakukan
bidang per bidang tanah, meliputi:
a. tanah;
b. ruang atas tanah dan bawah tanah;
c. bangunan;
d. tanaman;
e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
f. kerugian lain yang dapat dinilai.
Nilai Ganti
Kerugian yang dinilai oleh penilai merupakan nilai pada saat pengumuman
penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum degan besarnya nilai Ganti
Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai yang disampaikan kepada Lembaga
Pertanahan dengan berita acara. Nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil
penilaian Penilai kemudian menjadi dasar musyawarah penetapan Ganti Kerugian.
Pendekatan dan metode penilaian
yang sesuai untuk digunakan tergantung kepada pertimbangan seperti, dasar nilai
dan tujuan penilaian, tersedianya informasi dan data serta metode yang
diterapkan oleh para pelaku dalam pasar yang relevan.Tujuan penilaian seperti
yang dimaksud oleh SPI 306 untuk pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum, dimana objek penilaian dimaksud akan diganti rugi mencakup
kerugian fisik dan kerugian non fisik.
1) Tanah; dengan peruntukan
seperti pertanian, permukiman, industri atau komersial;
2) Ruang atas tanah dan bawah tanah; (lihat Hak Guna Ruang Atas Tanah
meliputi hak atas permukaan bumi tempat pondasi bangunan dan hak untuk
menguasai ruang udara seluas bangunan tersebut serta hak kepemilikan bangunan,
dan Hak Guna Ruang Bawah Tanah meliputi hak atas permukaan bumi yang merupakan
pintu masuk/keluar tubuh bumi dan hak membangun dan memakai ruang dalam tubuh
bumi, serta hak milik atas bangunan yang berbentuk ruang dalam tubuh bumi)
Objek penilaian
dalam penentuan kerugian fisik meliputi :
- Bangunan; dapat
terdiri bangunan residensial, industri, komersil
- Tanaman; dapat
terdiri dari tanaman semusim, hortikultura atau tanamankeras/tahunan
- Benda yang
berkaitan dengan tanah; seperti utilitas dan sarana pelengkap bangunan.
3.4
Kebijakan
Nasional Jangka Menengah
Dalam
Rencana Strategis Kementerian Perhubungan Tahun 2015-2019 (2015) disusun sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional, maka rehabilitasi dan pengembangan Bandar
Udara (perpanjangan, pelebaran dan peningkatan kekuatan, pekerjaan tanah) untuk
didarati B-737 Series pada lokasi yang akan ditetapkan sesuai kebutuhan
berdasarkan Tatanan Kebandarudaraan Nasional dan pelaksanaan Undang-Undang lain
termasuk adalah kebijakan prioritas Kementrian Perhubungan dalam bidang
Transportasi Udara dan bandara Matilda Batlayeri Saumlaki merupakan objek
rencana strategis nasional yang akan dikembangkan dalam 5 (lima) tahun kedepan
sebagaimana prioritas jangka menengah kementrian. Rencana strategis tersebut
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri Perhubungan tentang
Rencana Strategis Kementerian Perhubungan Tahun 2015 – 2019, yang akan menjadi
pedoman bagi Kementerian Perhubungan dalam melaksanakan kebijakan dan program
Pemerintah di sektor transportasi. Renstra Kementerian Perhubungan Tahun
2015–2019 disusun dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan nasional
khususnya di sektor transportasi serta untuk menjadi arah dan pedoman
pelaksanaan penyelenggaraan perhubungan bagi seluruh unit kerja dan stakeholder
sektor transportasi.Dengan demikian dalam peningkatan kapasitas bandara
maka sudah tentu penyediaan tanah merupakan faktor utama untuk merealisir
kebijakan nasional tersebut. Maka pemerintah daerah saat ini harus benar-benar
arif dan bijaksana mengatur dan menyelesaikan terlebih dahulu permasalahan
tanah yang sejak tahun 2003 silam yang hingga saat ini belum adanya pengalihan
status tanah kepada pemerintah sehingga apabila dalam pengembangannya perlu
diadakan pengadaan tanah maka pemerintah tidak akan mendapat hambatan berarti dengan masyarakat pemilik tanah.
IV
PENUTUP
3.5
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan, maka dapat disampaikan
kesimpulannya adalah :
-
Tanah ulayat
masyarakat adat Amtufu merupakan sumber daya terbatas, memiliki jumlah yang
selalu mengalami penurunan fungsi pertanian sebagai akibat dari dialihfungsikan
untuk pembangunan bandara Mathilda Batlayeri;
-
Koordinasi dan
transparansi belum diterapkan secara baik sehingga muncul kesalapahaman dan
kecurigaan tentang pembayaran ganti kerugian tanah dan perluasan luas tanah
oleh pemerintah daerah diluar 250 hektar yang disepakati untuk pembangunan
bandara Mathilda Batlayeri;
-
Pengalihan Hak atas
Tanah dari pemerintah daerah Kabupaten Maluku Tenggara Barat kepada Kementrian
Perhubungan belum terealisir karena sampai saat ini belum memenuhi kriteria dan
prosedur yang diamanatkan dalam peraturan perundang undangan yang berlaku.
3.6
Saran Tindak
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran tindak
yang disampaikan adalah :
-
Meningkatkan
transparansi yang digagas oleh pemerintah daerah melalui dialog secara berkala
dengan masyarakat untuk menyelesaikan sisa anggaran yang wajib dibayarkan
kepada masyarakat;
-
Mengatasi perbedaan
persepsi dan meningkatkan kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah tentang
tanggungan pajak pengadaan tanah dengan tetap mengacu pada aturan
perundang-undangan yang berlaku;
-
Melakukan
peninjauan langsung yang menghadirkan semua pihak yang berkepentingan untuk
memastikan apakah ada unsur kesengajaan dari pemerintah untuk melakukan
penyerobotan lahan atau tidak.
-
Penentuan nilai
tanah dan tanaman serta bangunan lain diatas tanah perlu menggunakan jasa
penilai sebagaimana amanat UU 2 Tahun 2012. Penilaian tersebut dengan berbagai
pendekatan dapat menghasilkan nilai wajar dan sesuai dengan kondisi dan
karakteristik tanah saat itu dan menjadi rujukan untuk musyawarah antara
pemerintah daerah dan masyarakat pemilik tanah.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Buku Teks
-
Abdurrahman. (1991). Masalah
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia. Bandung:
Citra Aditya Bakti;
-
G.Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, AG.Kartasapoetra,
A. Setiady, Hukum Tanah, Jaminan Undang-
Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah,(Jakarta: Bina
aksara, 1985)
-
Irawan, Iwan (2014) Jurnal. Studi
Kasus Pembebasan Tanah Dalam Proyek Normalisasi Waduk Pluit Ditinjau Dari
Perspektif Hukum Agrarian;
-
Koritelu, Paulus. Dkk. (2002). Kajian
Komunitas Adat Terpencil (KAT), kerjasama Dinas; Sosial
tingkat I dengan Lembaga Penelitian Univ.Pattimura Ambon.
-
Mahmud, P. (2005). Penelitian Hukum.
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup;
-
Maria S.W Sumardjono,Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial dan budaya, PenerbitBuku
Kompas, Jakarta, 2008, Hal. 293;
-
--------------, (2001) Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi
dan ImplementasiJakarta : Penerbit Buku Kompas;
-
Reksohadiprodjo, Sukanto dan Karseno, A.
R. (1994) Perekonomian Perkotaan.
Jogjakarta. BPFE.
-
Soekanto, S. (1986). Pengantar
Penelitian Hukum. Cetakan ke-3. Jakarta: UI Press;
-
Soesangobeng, Herman, 2000. Pendaftaran Tanah Ulayat di Sumatera Barat dengan Contoh Pilot
Proyek Pendaftaran Tanah di Desa Tigo Jangko Kecamatan Lintau Buo Kabupaten
Tanah Datar dalam himpuan Makalah dan Rumusan Workshop Tanah Ulayat.
-
Soetiknjo Iman (1994) Politik Agraria Nasional. Jogjakarta.
Gadjah Mada University Press;
-
Sudaryo Soimin,Status
Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 1993;
-
Wahid Yunus (2014) Pengantar Hukum Tata Ruang. Jakarta. Kencana.
2.
Makalah/Artikel/Karya Ilmian
-
Baihaqi (2014) Landasan
Yuridis Terhadap Aturan Hukum Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Jurnal
Ilmiah Peuradeun, International Multidisciplinary Journal);
-
Hidayati, Wahyu, dan Harjanto, Budi,
2015, Konsep Dasar Penilaian Properti, BPFE, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
-
Muhammad Bakri (2006) Pembatasan Hak Menguasai Tanah
Oleh Negara Dalam Hubungannya dengan hak Ulayat dan Hak Perorangan Atas Tanah
(Ringkasan Disertasi), (Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga);
-
Rosalina,
Eksistensi Hak Ulayat Jurnal Sasi Vol.16. No.3
Bulan Juli - September 2010;
-
Syafrudin Kalo (2004) Reformasi Peraturan Dan Kebijakan
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Makalah - Fakultas Hukum Universitas
Sumatra Utara)
-
Syafrudin Kalo, Reformasi Peraturan Dan Kebijakan
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, (Makalah - Fakultas Hukum Universitas
Sumatra Utara. 2004);
3.
Peraturan Perundang-Undangan
- -
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
- -
Undang-undang
No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum;
- Peraturan
Presiden No. 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Dalam
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum;
- -
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah;
- - Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Tanah
Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
- -
Keputusan
menteri perhubungan Nomor kp. 430 tahun 2015 Tentang Rencana strategis
Kementerian perhubungan Tahun 2015-2019.
- -
KEPI & SPI Edisi IV – 2015.
4.
Media Online
- Academia.edu/7512832/makalah_pendaftaran_dan_peralihan_hak_atas_tanah_oleh_ananda_hazti_
karman_p3600213058_program_pascasarjana_kenotariatan_fakultas_hukum_universitas_hasanuddin_ makassar_2014
- - Ambonekspres.fajar.co.id/2015/07/28/masyarakat-ancam-tutup-bandara
-
- Dharapos.com/2015/09/pengembangan-bandara-saumlaki.html
-
----------------/2015/08/bantah-pernyataan-sekda-mtb-manunwembun.html
-
----------------/2015/08/waktu-dekat-ganti-rugi-lahan-bandara.html
- -
Hizbut-tahrir.or.id/2012/01/04/uu-pengadaan-lahan-cara-konstitusionil-merampas-lahan-warga-kritik-dan-pandangan-komprehensif-syariah-syariah-islam-tentang-lahan
-
Kompasiana.com/npreressy/duan-lolat-sebuah-kearifan
local;
- -
Malukupost.com/2015/08/terkait-masalah-ganti-rugi-lahan.html
Komentar
Posting Komentar